… Episode sebelumnya …
Lars berada dalam masa penyembuhan setelah babak belur akibat insiden di klub beberapa hari yang lalu, dan tiba-tiba Cherry menghubunginya lagi untuk mengajaknya bertemu. Tentu saja Lars tidak menolak, dia bahkan mulai melakukan persiapan untuk menyambut kencan mereka berikutnya …
Lagi-lagi Jenny harus mengomeli Louise melalui ponselnya. Bagaimana Jenny tidak mengamuk? Sudah sedari tadi ponsel Jenny terus saja berdering dan yang paling membuatnya stress adalah orang yang meneleponnya terus, yaitu Louise. Sebenarnya Jenny sedang berada di rumah Lars untuk memasak bubur, sedangkan Lars sendiri sedang berada di kamar mandi.
" Iya, Lou! Entar gua dateng. Lo nggak perlu nelponin gua tiap lima menit sekali! "
" Sorry, gua takut lo nggak dateng. Lagian, bentar lagi cowok-cowok yang mau kenalan sama lo bakal dateng. "
" Tau! "
Klik! Kali ini bukan Louise yang menutup telepon tiba-tiba, tapi giliran Jenny yang melakukannya. Tepat setelah menutup teleponnya, Jenny selesai membuat bubur dan Lars keluar dari kamar mandi.
" Lars, gua mesti pergi. Buburnya udah mateng, lo makan ya. Gua pergi dulu. "
Lars tidak menjawab apa-apa soalnya dia memang tidak sempat menjawab karena Jenny langsung menyambar tas tangan dan jaketnya, mengecup pipi Lars lalu pergi secepat kilat seperti angin.
Tak lama kemudian Jenny masuk ke dalam cafe tempat perjanjian Louise dengan para penelepon itu. Masih membawa clipboard, Louise menghampirinya dengan tampang yang sangat berbunga-bunga.
" Jen! Thank's God, lo dateng! "
" Gimana nggak dateng kalo lo nelponin gua mulu? " Tanggap Jenny dengan setengah marah. Louise menarik Jenny ke salah satu meja di pojok ruangan dan menjelaskan situasinya se-detail mungkin.
" Kita udah punya 25 orang calon pacar lo. Ditelepon sih kedengerannya semua oke. Lo pilih aja pelan-pelan, kita punya banyak cadangan kok. "
" Cadangan? Lo kira bola? "
" You know what I mean. Pokoknya kita harus ketemu cowok yang pas buat lo hari ini. "
Akhirnya Jenny tidak berkata apa-apa lagi. Setelah merenungi perkataan Louise beberapa waktu yang lalu, Jenny sudah memutuskan untuk benar-benar menyerahkan masalah pencarian pacar bohongan ini kepada Louise. Soalnya Louise memang sudah melakukan langkah awal yang cukup pesat, dan lagi pula hasilnya dalam waktu kurang dari seminggu sudah berhasil menggaet 25 orang untuk diwawancarai sebagai calon pacar. Cukup bagus, kan? Mangkanya, wawancara pun dimulai tak lama setelah penjelasan Louise selesai dibacakan.
Datang seorang pria yang berpakaian rapi dengan rambut ber-gel yang disisir rapi kebelakang. Pakaiannya berwarna biru dengan dasi hitam mengkilat dan membawa sebuah tas besar. Benar-benar persis seperti seorang salesman. Tanpa basa basi Jenny langsung menggeleng. Datang lagi seorang laki-laki yang berpakaian cukup santai, tidak terlalu rapi, mengenakan celana baggy dan sepatu kets. Rambutnya gondrong dan kulitnya sedikit sawo matang. Lumayan ganteng, kalau saja tidak ada satu masalah yang membuat semua nilai plus itu hilang seketika: bau badannya yang sangat menyengat. Akhirnya Louise dan Jenny menggeleng lagi. Laki-laki ketiga, keempat dan seterusnya sama-sama memiliki kekurangan yang begitu mencolok dan tidak bisa ditolerir, sehingga Jenny tidak bisa berpikir hal lain kecuali menggeleng secepat mungkin. Ada yang terlalu pendek, ada yang terlalu tinggi dan bertubuh atletis tapi tidak bisa lancar berbicara, ada juga yang berpenampilan rapi seperti seorang eksekutif muda tapi terlalu banyak berbicara. Pokoknya, benar-benar mengecewakan.
Louise dan Jenny sudah kelihatan lelah sekali sambil meminum gelas capucino mereka yang kelima.
" Udah deh, Lou. Nggak ada gunanya kita duduk di sini buat nungguin cowok yang nggak tau se-unik apa lagi. Gua udah enég nih minum capucino mulu, gua pulang aja deh, ya... " Kata Jenny dengan sediki memohon.
" Eh-eh, ntar dulu, Jen. " Louise buru-buru menghentikan Jenny. " Kalo dikurangin sama tujuh orang nggak bisa dateng, berarti kita punya satu orang calon lagi. Kali ini gua yakin lo pasti suka. "
" Udah deh, Lou... Gua capek. "
" Jenny, please... Satu lagi. Kenapa lo nggak liat dulu? Ya, please... " Akhirnya melihat wajah Louise yang sangat memelas, Jenny duduk di bangkunya lagi. Lagipula, setelah sekian lama duduk dan memperhatikan laki-laki aneh yang di wawancarainya, rasanya menunggu sedikit lebih lama tidak akan membunuhnya, demi sahabatnya tercinta. Louise menghela napas lega melihat Jenny kembali duduk.
" Seharusnya dia udah dateng. Mana, ya? " Louise melihat ke sekeliling ruangan setelah melirik jam tangannya dan saat melihat ke arah pintu masuk, tatapannya terhenti pada seseorang yang sedang berbicara dengan seorang pelayan disana.
" Gila, tuh cowok cakep banget… "
" Inget Lou, ada Norman. "
" Dia… Gua sakuin dulu aja, deh. " Kali ini Jenny yang penasaran melihat laki-laki yang bisa membuat Louise 'menyakukan' Norman. Biasanya jika Louise sedang lupa diri dan melirik laki-laki lain, dia akan langsung sadar kalau diingatkan tentang Norman, pacar sejatinya yang keturunan Malaysia itu. Tapi kalau kali ini Louise berani mengesampingkan Norman, maka laki-laki yang dilihatnya pastilah laki-laki yang sangat ganteng.
Jenny akhirnya melihat juga ke arah tatapan Louise dan mau tidak mau dia juga terpesona sekaligus mengernyit. Ternyata yang diperhatikan Louise dengan tampang 'mupeng' adalah seorang laki-laki berbadan tinggi tegap, berkulit putih, memiliki bibir merah yang seksi. Jujur saja, laki-laki ini memang cukup ganteng, hanya saja yang membuatnya mengernyit adalah rambut laki-laki itu yang sangat pendek, bahkan nyaris botak. Perlu dicatat, kalau Jenny sangat tidak menyukai laki-laki botak.
" Cowok yang itu? " Tanya Jenny meyakinkan sambil mengarahkan telunjuknya kearah laki-laki itu. Louise langsung mengangguk padahal dia tidak melihat kearah mana telunjuk Jenny mengarah. Matanya sedang sibuk mengagumi laki-laki botak itu. Jenny mengernyit lagi. " Tapi kan dia botak, Lou. " Gerutu Jenny lagi.
" So what? Lo nggak liat apa, dia ganteng banget gitu? Justru kepala botaknya bikin dia makin ganteng. " Akhirnya Jenny menyerah berdebat dengan Louise dan kembali menekuri capucino-nya, sementara Louise masih saja asik memperhatikan laki-laki itu. Dan saat laki-laki itu malah berjalan kearah meja yang di duduki Louise dan Jenny sedari tadi, Louise menjadi kaget dan gugup luar biasa. " Jen! Jen!! Dia dateng ke sini! Jangan-jangan-- " Belum sempat Louise menyelesaikan perkataannya, laki-laki itu sudah berada di depan mereka berdua, dan Jenny terbengong-bengong melihat laki-laki itu mengulurkan tangannya dan berhenti tepat di depan batang hidung Jenny.
" Hai. Lo pasti Jenny, kan? Sorry, gua telat. "
" Lo—siapa? " Tanya Jenny sambil bengong.
" Lo pasti Kevin, kan? " Sambar Louise. Laki-laki itu mengangguk, sementara Jenny mengernyit. Jadi ini laki-laki yang Louise bilang tidak akan mengecewakannya? Seorang LAKI-LAKI BOTAK!? Jerit Jenny di dalam hati.
" Kenalin, gua Louise. " Lanjut Louise.
" Oh, hai. Gua baru tau kalo ternyata ketemuan sama cewe yang pasang iklan di biro jodoh harus pake acara wawancara segala, kayak ngelamar kerjaan aja. So, kalian mau wawancara apa? "
Louise memilih untuk tidak menanggapi pertanyaan atau mungkin perntaan yang dikatakan Kevin tadi, dia malah buru-buru menahan lengan Jenny yang beranjak mau pergi, lalu bertanya. " Lo kerja, kan? Dimana? "
" Gua baru aja pulang dari Amerika, ngelanjutin kuliah. Tapi sekarang udah dapet kerjaan di perusahaan swasta "
Louise tersenyum lebih lebar lagi dan bola matanya berbinar-binar seperti seorang anak kecil yang mendapat mainan baru. Sementara itu, Jenny mengumpat di dalam hati. Oh, great. Sebentar lagi dia pasti bilang kalo dia fansnya Justin Timberlake. Nggak heran rambutnya botak.
" Hobi lo apa? " Tanya Louise lagi.
Here we go… Tanggap Jenny masih dalam hati.
" Well actually, gua suka baseball. Waktu high school, gua ikut klub baseball dan masuk tim nasional, sayangnya gua keburu balik ke sini. "
Hati Jenny menclos. Baseball? Pantas saja rambutnya botak seperti itu! Jenny menjerit lagi di dalam hati. Dia jadi kembali teringat dengan satu-satunya pertandingan baseball yang pernah di tontonnya di TV kabel Jepang yang keseluruhan anggotanya berkepala botak. Jenny hanya bertahan selama lima menit menonton pertandingan itu. Dan semenjak itu, dia memutuskan untuk tidak akan pernah menonton pertandingan baseball lagi.
" Gimana menurut lo, kalo lo hanya dimanfaatin buat bikin cowok lain cemburu? " Tanya Louise lagi.
" That's ok. Anggap aja petualang. " Jawab Kevin dengan tenang, membuat Jenny tambah kaget dan Louise semakin bersemangat.
" Well, lo udah liat Jenny, kan? What do you think about her? " Lagi-lagi Louise bertanya santai.
" She's cute. " Cute? Jenny sewot lagi.
" You like her? "
" Sure! " Kali ini jawaban Kevin lebih bernada pasti.
" Mau jadi pacar Jenny? "
" Kenapa nggak? "
Jenny merasa kalau wajahnya sudah berubah merah sekarang. Bukan hanya dia merasa sedikit malu karena Louise bertanya sesuatu tentang perasaan orang lain terhadapnya, tapi juga karena dia merasa sedikit jengah dengan jawaban gamblang dan apa adanya yang dikatakan Kevin. Lagi pula, kenapa Louise sepertinya merasa sangat cocok dengan laki-laki botak ini dan melirik Jenny dengan pandangan yang mengatakan kalau dia sudah mendapat apa yang dicarinya sedari tadi? Dia kan tidak bisa memutuskan hal itu sendiri, dia harus bertanya dulu dengan Jenny. Iya, kan?
" Well, kalo gitu kita coba aja. Lo bisa jadi pacar Jenny. Iya kan, Jen? " Louise benar-benar memutuskan sesuatu dan Jenny melotot memandangnya. Benar-benar tidak akan ada musyawarahnya, nih? Tanya Jenny dalam hati sambil melotot memandang Louise.
" Jen? Iya kan? " Tanya Louise lagi karena tidak mendapat jawaban atau bahkan anggukan atau gelengan.
" Bentar, kita mau ngobrol berdua dulu. " Kata Jenny sambil buru-buru menarik tangan Louise menjauh dari meja mereka.
" Lo nggak salah? Masa lo mau terima cowok kayak gitu buat jadi pacar gua? " Tanya Jenny dengan suara bisik-bisik yang geram sambil masih saja memelototi Louise.
" Emang kenapa? Dia kan cakep, kurang apa lagi coba? Dia udah yang paling bagus dari pada yang lain! " Jawab Louise juga sambil berbisik.
" Tapi gua nggak suka! "
" Kenapa? "
" Dia—Pokoknya gua nggak suka! "
" Karena dia botak? " Tanya Louise dengan kesal. Jenny hanya diam dengan tidak mengubah posisi matanya yang melotot. " Walaupun botak, bukan berarti dia jahat. Lagian, dia keliatannya baik banget. Lo mau nyari apa lagi? " Jenny masih diam. Matanya sedikit demi sedikit berubah posisi.
" Jen, lo harus nyari pacar buat nyelesain masalah lo sama Lars kan? Ya udah, lo pake aja nih cowok. Toh hanya buat sementara, kalo lo ngerasa masalah lo sama Lars udah selesai lo boleh mutusin dia. Gampang, kan? "
" Iya, sih… " Jawab Jenny sambil termenung, memikirkan segala sesuatunya dengan cepat. Pikirannya langsung dipenuhi dengan sosok Lars yang sedang memeluk wanita yang sangat mirip dengan Cherry dan bagaimana semua kebohongannya harus ditutupi. Dan saat memikirkan masalah kebohongannya itu, mau tidak mau dia memang merasa kalau Kevin kelihatannya sangat cocok untuk membantunya menyelesaikan masalah kebohongan ini.
" Gimana? Lo mau kan sama dia? " Akhirnya, Jenny mengangguk dengan anggukan yang diusahakannya semantap mungkin. Louise langsung menarik tangannya kembali untuk duduk di meja yang sedari tadi mereka duduki menghadap Kevin yang masih saja botak walaupun sudah ditinggal hampir lima menit.
" Sorry, kita lama. " Kata Louise kepada Kevin yang hanya disambut dengan senyum manisnya. " Jenny setuju buat nerima lo jadi pacarnya. Ya kan, Jen? "
Jenny diam sebentar, lalu dia mengangguk kecil. " Tapi, gua nggak suka cowok botak. "
" Gua bisa panjangin rambut, kok. " Jawab Kevin, tersenyum penuh kemenangan.