Oh damn, I
think that’s the best kiss I’ve ever had.
Ever.
Aku membuka
pelupuk mataku dan menemukannya di hadapanku. Wajah kami hanya berjarak
beberapa senti, bahkan kedua bibir kami jauh lebih dekat lagi. Dalam satu
langkah singkat saja aku bisa meraih bibir itu lagi, melumatnya sekali lagi dan
merasakan sensasi itu lagi. Benar, itu adalah sensasi yang begitu membuat
sakau. Seolah ada sebuah kupu-kupu menyusup ke dalam dadaku dan mengepak dengan
liar di sana, membuat napasku memburu. Napasnya lebih berat dari pada napasku
dan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium bau tembakau menguar dari tubuhnya.
Beberapa detik yang lalu aku baru saja merasakan sensasi pahitnya tembakau itu dari
lidahnya dan walaupun aku membenci rokok, tapi bau itu mampu menghipnotisku.
Aku
melonggarkan kedua tanganku yang melingkari lehernya, memberi jarak pada kedua
bibir kami sehingga aku bisa mengatur detak jantungku yang berantakan. Kedua
kaki telanjangku akhirnya bisa menapak dengan benar ke atas bumi setelah
sebelumnya aku tekuk untuk berjinjit, berusaha menggapai dosa manisku tadi:
bibirnya. Walaupun aku bisa merasakan bahwa dia enggan melepas pelukannya dari
pinggangku, tapi dia juga memberi jarak tanpa perlu melepaskan pelukannya. Dan
aku sama sekali tidak keberatan. Aku memang tidak ingin berada terlalu jauh
darinya.
Aku kembali
menatap kedua matanya. Letaknya beberapa senti di atas mataku sehingga aku
harus sedikit menengadahkan kepala, membuat poni panjangku bergerak menghalangi.
Aku sedikit memejamkan mata untuk menahan rasa sakit saat poni itu menusuk
mataku, sama sekali tidak sudi untuk memindahkan kedua tanganku yang sedang
memeluk lehernya untuk menyingkirkan poni yang mengganggu itu. Tapi seperti
bisa membaca apa yang aku inginkan, dia melepas salah satu pelukan tangannya
dari pinggangku dan menyingkirkan poni itu dengan lembut. Ujung jarinya
bertahan di pipiku selama beberapa detik sebelum kembali melingkari pinggangku dan
kehangatan yang membuatku merinding memancar dari sana dan bertahan lebih lama
lagi. Dengan kedua mata yang begitu dekat, aku dapat menikmati kedua matanya
yang bersinar penuh kehangatan itu dengan leluasa, seolah kedua mata itu hanya
untukku. Lalu pandangan mataku mengarah ke hidungnya yang sedikit mancung, ke
tulang pipinya yang tegas dan berhenti di bibirnya. Oh ya ampun, aku ingin
sekali merasakan bibir itu. Lagi. Berkali-kali.
Tiba-tiba
bibir itu tersenyum dengan begitu manisnya, membuatku tersadar bahwa sang
pemilik bibir itu pastilah sadar aku sedang memandangi bibirnya dengan
pandangan penuh rasa ingin tahu. Otomatis pandangan mataku kembali kepada dua
bola matanya, dan benar saja, ada pandangan penuh persengkongkolan yang aku
temukan di sana. Secara perlahan dan pasti senyumnya mengembang makin lebar,
membuatku salah tingkah. Dan detik berikutnya dia mulai berbicara sambil
mengunci kedua mataku dengan pandangan matanya yang tajam.
“Apakah kau
tahu bahwa kau punya mata coklat yang sangat menakjubkan?”
Perlu waktu
beberapa detik bagiku untuk mencerna kata-kata yang diucapkannya dengan sedikit
berbisik itu. Sepertinya bau tembakau yang menguar dari kotak rokok yang ada di
saku kemejanya telah berhasil menghinoptisku semakin dalam sehingga aku tidak
bisa berpikir dengan benar. Aku bahkan tidak bisa bernapas dengan baik. Oh,
dear…
Tapi aku
berhasil menguasai diri dengan cepat dan ingat bahwa apa yang dikatakannya tadi
sudah pernah aku dengar diucapkan oleh orang lain, orang yang selama ini telah
memiliki bibirku. Begitu kesadaran itu menyerbuku, semua rasa yang menggetarkan
itu lenyap seketika, seolah kupu-kupu yang sedari tadi terbang di dadaku
mendadak mati. Aku melepaskan kedua tanganku dari lehernya dan mundur satu
langkah sambil buru-buru berbicara dengan terbata-bata.
“Aku…
sorry…”
Sorot
matanya berubah dengan sangat cepat menjadi begitu menyedihkan untuk dilihat.
Dengan sigap diraihnya kedua tangan yang aku lepaskan dari lehernya tadi dan
menghentikan gerakannya sehingga kedua tanganku berada tepat di dalam lingkup
kedua telapak tangannya. Aku memejamkan mata dengan cepat, berusaha sekuat
tenaga untuk menyingkirkan perasaan nyaman yang menyerbuku dengan sangat tiba-tiba
saat kedua tangan besarnya itu begitu hangat dan pas melingkupi kedua telapak
tanganku yang kecil. Tapi begitu sulit untuk menghilangkan perasaan itu,
apalagi dengan adanya dia di hadapanku, menatapku seperti itu.
“Ada apa?”
tanyanya, sedikit ragu.
Aku
menggelengkan kepalaku dengan cepat sambil menghembuskan napas panjang dan
memejamkan kedua mata dengan frustasi. Ya ampun, apa yang telah aku lakukan?
“Aku… minta
maaf…” kataku setelah berusaha berbicara dengan susah payah.
“Kenapa?
Apa salahmu? You’re a very good kisser and that’s the best kiss I ever had, so
far.”
Me too.
Tapi, itu dia masalahnya. Semua ini tidak seharusnya terjadi. Aku telah
melakukan kesalahan dan bagaimana caranya aku bisa memperbaiki kesalahan ini? Aku
memejamkan mataku lagi dengan jauh lebih frustasi. Aku mencoba menarik napas
panjang untuk menenangkan diri lagi, tapi bau tembakau itu kembali tercium,
membuat semuanya terasa semakin sulit.
“Kamu
menyesal karena ciuman tadi?” tanyanya lagi yang kali ini membuatku buru-buru
menggeleng.
Aku sama
sekali tidak menyesal karena pernah merasakan ciuman ini. Aku hanya menyesal
karena berani melakukannya, melakukan sesuatu yang salah tapi begitu sulit
untuk disesali.
“Hanya saja…
selama ini aku telah berusaha untuk tidak melakukan sesuatu yang bisa saja aku
sesali nantinya.”
“Apakah itu
artinya kamu sudah lama menginginkan ini? Maksudku, apakah kamu memang ingin
menciumku?” dia bertanya lagi dan aku kembali menutup kedua mataku dengan
frustasi.
Iya, aku
sudah berusaha sekuat tenaga menjauhkan keinginan untuk menghambur ke arahnya
dan menciumnya. Seharusnya aku bisa menahan keinginan itu lebih lama lagi, atau
mungkin membuang jauh-jauh keinginan bodohku itu. Tapi semua usahaku itu
langsung terlupakan begitu saya setelah dia pergi selama beberapa waktu tanpa
pamit dan tidak bisa dihubungi. Lalu tiba-tiba dia mendatangiku dan menyodorkan
gelang itu tadi. Dan aku langsung menghambur ke pelukannya begitu saja, tanpa
ingat untuk berpikir. Bodoh, aku tahu. Tapi aku tidak bisa menemukan alasan
lain untuk tetap mempertahankan usaha itu. Aku sudah memutuskan untuk lebih
jujur terhadap perasaanku sendiri. Dan inilah yang aku inginkan dan inilah yang
aku lakukan, dari lubuk hatiku yang paling dalam. Jadi, apa yang bisa aku
lakukan kecuali menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan terakhirnya
tadi?
“Kalau
begitu, sepertinya aku harus sering-sering pergi tanpa mengabarimu, supaya bisa
mendapatkan moment seperti ini lagi.”
Begitu
mendengar kata-kata itu terlontar dari mulutnya, aku langsung melepaskan
genggaman tanganku dengan kasar dan memukulkan tinjuku ke dadanya yang bidang
dengan sekuat tenaga. Tapi dia malah tersenyum geli dan buru-buru menggenggam
kedua tanganku untuk menghentikan pukulanku. Aku tidak menyerah, dengan kesal
aku kembali menumpahkan amarahku melalui omelan.
“Jangan
sekali-sekalinya kau berani pergi tanpa kabar seperti itu lagi. Kau membuatku
khawatir!”
Dia
menunduk untuk menatapku dengan kedua tangan yang masih menggenggam tanganku di
depan dadanya, lalu menjawab lagi.
“Kau baru
saja mengabarkan sebuah keputusan yang sangat mengagetkan untukku. Aku perlu
menenangkan diriku lebih dulu.”
Aku
menundukkan kepala lebih dalam lagi, semakin merasa menyesal. Dengan enggan dan
nyaris berbisik, aku menjawab.
“Aku… sudah
memutuskan.”
“Aku tahu.”
Jawabnya dengan cepat. Dia melepaskan genggaman tangan kanannya, meraba cincin
di jari manisku dengan cepat lalu meletakkan telapak tanganku di depan dadanya
dan meraih daguku dengan tangan kanannya yang bebas. Kini, kedua mata kami
sudah kembali saling menatap, mengunci.
“Karena
itulah seharusnya aku yang meminta maaf. Walaupun aku sama sekali tidak
menyesali semua ini, tapi aku tahu, seharusnya aku menghormati keputusanmu. Dan
aku pun tahu, seharusnya aku tidak boleh menciummu, atau memberikan gelang itu
sebagai hadiah perpisahan, atau bahkan memelukmu seperti ini. Tapi, aku hanya
ingin… memilikimu. Paling tidak sekali dalam hidupku, aku ingin merasakan
bagaimana rasanya jika aku memilikimu, seutuhnya.”
Aku tidak
tahu apakah aku akan bisa menahan air mataku lebih lama lagi agar tidak jatuh
ke pipiku. Penjelasannya kali ini benar-benar mengundang air mata.
Sepertinya
dia melihat kedua mataku yang sudah mulai berkaca-kaca, karena itulah dia
buru-buru berkata lagi.
“Aku mohon,
jangan menangis. Aku tidak akan mengatakan bahwa aku mencintaimu. Aku tahu itu
sudah terlambat, kata-kata itu sudah tidak ada gunanya lagi. Tapi aku hanya
ingin kau tahu bahwa apa yang aku rasakan adalah perasaan yang tulus. Jadi, aku
mohon, jangan menyesali apa pun. Izinkan aku menyelesaikan ini dan menciptakan
sebuah kenangan indah di antara kita. Walaupun penuh kepura-puraan.”
Aku tidak
pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya dan aku tidak pernah menyangka
bahwa aku akan merasakannya. Aku rasa ini memang bukan sebuah kesalahan. Ini
adalah sebuah pembuktian, pembuktian akan kekuatan cinta yang tidak bisa saling
memiliki, pembuktian bahwa sebuah keputusan membutuhkan pengorbanan, pembuktian
bahwa sebuah kesalahan belum tentu salah, hanya butuh dibuktikan agar dapat
dimengerti. Dan kini, aku mengerti bahwa perasaan ini adalah benar, hanya waktu
dan tempat yang kurang tepat, seperti yang selama ini telah disadarinya.
“Tolong,
jangan sesali aku.”
Itu adalah
kata-kata terakhir yang aku dengar dari mulutnya karena detik selanjutnya bibir
kami telah bertemu kembali. Kali ini lebih lembut, lebih manis, lebih
menggetarkan hati. Kupu-kupu tadi kembali terbang lagi di dadaku dan lidahku
kembali merasakan tembakau yang pahit. Napas kami saling memburu dan kedua
lengan kami saling memeluk. Lalu, hampir sama cepatnya seperti ciuman itu
dimulai, semua itu berakhir. Aku mundur satu langkah sambil merenggangkan
lengan kiriku, memberi jarak pada kami berdua. Lalu aku memandanginya,
memberikan senyum terbaik yang bisa aku berikan, dan berkata dengan mantap.
“Terima
kasih, untuk semuanya.”
Aku
berbalik dalam satu gerakan, meraih tasku yang terletak di atas meja dan pergi
tanpa menoleh ke belakang lagi. Aku tidak merasakan tangannya yang menahan
kepergianku atau suaranya yang memanggilku untuk berhenti. Aku hanya merasakan
tangan kiriku yang menggenggam erat gelang perak yang baru saja diberikannya
kepadaku dan berjanji di dalam hati bahwa aku akan mengenakan gelang itu
selamanya tanpa rasa menyesal sedikit pun.
160913
~Black Rabbit~