‘Val’phobia ( part 9-end )


…Cerita Sebelumnya…
Ketakutanku terbukti benar. Tiba-tiba Val mengajakku pergi ke suatu tempat dan menyatakan cintanya kepadaku! Dia bahkan menciumku! Tentu saja semua itu menggoyahkan keputusan yang tadinya sudah aku yakini, tapi ternyata…

 
Malamnya aku tidur dengan berderaian air mata, pikiran yang kusut, perasaan yang sangat tidak nyenyak dan tidak nyaman. Aku memimpikan Val lagi, memimpikan ciumannya dan bibirnya yang lembut, memimpikan kata-kata manis dan janji-janjinya. Tapi aku sangat kaget karena tiba-tiba mendengar sebuah suara memanggilku. Aku kenal betul suaranya, itu suara Daniel! Aku bergegas mendorong Val menjauh dan menoleh ke belakang…
" Hei sayang, bangun dong. Ini sudah pagi! "
Aku melihat wajah Daniel tepat berada di depan wajahku dan langsung terlonjak kaget. Buru-buru aku melihat sekelilingku, mencari sosok Val yang baru saja menciumku tadi sekaligus berharap Daniel tidak melihat Val dan menjadi marah. Tapi aku tidak menemukan Val dimana pun, aku malah menemukan kamarku sendiri.
" Flor, bangun dong… sudah aku cium kok belum bangun juga. Batal deh jadi 'sleeping beauty'-nya. "
" Dan… kamu kok ada disini? "
" Aku kangen sekali denganmu, soalnya kita dipingit tidak boleh bertemu. Jadi aku sengaja datang ke rumah sewaktu tante pergi. Tapi kamu malah enak tidur. Nyenyak sekali, ya? "
Aku mengangguk dan tersenyum.
" Kok mata kamu basah begitu? Mimpi buruk? " Lanjut Daniel dengan sedikit khawatir. Aku meraba kelopak mataku dan merasakan sisa air mata disana. Aku benar-benar menangis. Aku kembali menatap wajah Daniel, dia tersenyum manis lalu mengecup kepalaku dan membuatku tersenyum juga.
" Sudah, cuci muka sana! Bertemu calon suami kok mukanya banyak kotoran matanya begitu? Jorok! "
Aku tersenyum lalu memeluk Daniel dengan sangat-sangat-sangat gembira. Entah kenapa, wajah Daniel seolah-olah telah menenangkanku, rasanya dia telah menyelamatkanku dari jeratan seorang Val di mimpi tadi dan tanpa aku sadari rasa sayang Daniel telah menjawab semua keraguanku. Aku beranjak untuk pergi ke kamar mandi sementara Daniel beranjak untuk keluar kamar dan menungguku di ruang tamu. Tepat saat Daniel sampai di depan pintu dan aku sampai di depan pintu kamar mandi, Daniel menoleh ke belakang dan berkata:
" Tadi handphone kamu berbunyi, ada SMS dari yang namanya Valentino, maaf yah aku buka SMS-nya. "
Aku malah menggeleng pelan, mengatakan secara tidak langsung kalau aku tidak keberatan. Rasanya tindakan Daniel yang melanggar privasiku itu malah terasa seperti perwujudan rasa sayangnya yang mendalam.
" Hm… siapa sih dia? Teman? " Tanya Daniel lagi, cukup berhati-hati.
" Iya, teman lama. " Jawabku dengan jujur.
" Oh, ya sudah. Aku tunggu di depan, ya. " Daniel keluar dari kamarku dan aku meraih ponselku. Tidak ada simbol pesan yang belum dibaca di layar monitor handphoneku, berarti Daniel memang membuka dan membaca SMS itu.
Benar, itu SMS dari Val. Dia menanyakan kabarku seperti biasa dan memintaku untuk secepatnya menghubunginya lagi. Aku meneleponnya saat itu juga. Pembicaraan Val memang sedikit membingungkanku, aku tidak mengerti apa yang ingin dikatakannya. Dia mengatakan bahwa pertemuan terakhir kami tidak berjalan dengan baik tapi malah menyisakan salah paham yang semakin meruncing. Val mengatakan bahwa kami harus bertemu lagi, kami harus meluruskan masalah-masalah itu, dia tidak mau mengulang kesalahan yang sama seperti dulu saat dia membiarkan kesalahpahaman kami begitu saja sehingga hubungan kami menjauh.
Aku setuju kalau pertemuan terakhir kami memang tidak berjalan dengan mulus, tapi aku tidak bisa bertemu lagi dengannya. Walaupun aku sudah menetapkan hati untuk memilih Daniel, tapi aku tidak mau mengambil resiko bertemu dengan Val yang akhirnya malah akan menggoyahkan keteguhan hatiku lagi. Aku tidak mau terhanyut dengan pesonanya lagi, dengan rayuannya, dengan kata-kata manisnya, dengan tatapan tajam matanya yang harus aku akui akan tetap membuatku tertarik dan luluh. Bagaimanapun Val memang adalah seseorang yang sangat istimewa bagiku, aku tidak bisa mengubah kedudukan itu dan membohongi hatiku. Tapi ketetapan hatiku sudah bulat, aku tidak ingin mengubahnya lagi.
Jadi aku hanya mengatakan kalau aku sudah melupakan kejadian tidak mengenakkan itu dan mengganggap semuanya tidak pernah terjadi. Val terdiam untuk beberapa saat, mungkin tidak menyangka kalau aku akan menjawab setegas itu. Tapi akhirnya dia meminta maaf karena kembali membuat hubungan kami menjadi renggang. Aku juga meminta maaf dan mengatakan kalau kami masih bisa berteman dan akhirnya Val terdengar lebih rileks dan santai.
# # #
Kurang lebih dua minggu kemudian acara pertunanganku dengan Daniel pun akhirnya dilaksanakan. Tidak terasa beberapa menit lagi aku akan resmi menjadi calon istri dari seorang Daniel.
Tidak bisa aku bayangkan betapa leganya aku saat ini, berada di tengah-tengah acara pertunanganku, menggandeng calon suamiku tersayang, lega karena semuanya tampak berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya. Semua orang tampak sangat gembira, apa lagi kedua orang tua kami. Aku mengenakan gaun yang sudah aku pesan dengan Mas Sammy waktu itu dan Daniel mengenakan setelan jas berwarna coklat gading yang membuatnya kelihatan tambah ganteng. Pokoknya semuanya berjalan dengan sangat lancar.
Sejak perbincangan terakhir antara aku dan Val itu, lagi-lagi Val hilang dari kehidupanku. Dia tidak pernah mengirim SMS lagi, tidak pernah meneleponku lagi, bahkan tidak datang ke acara pertunanganku, padahal dia sudah berjanji akan datang. Tapi aku tidak perduli. Val sudah menjadi masa lalu yang memang sudah seharusnya aku lupakan. Biarkan semuanya kembali pada keadaan yang semestinya, keadaan seperti saat aku belum bertemu dengan Val. Hubunganku dengan Val memang sudah selesai sampai disini saja, jadi biarkan aku menjalani hidup sesuai dengan keputusanku sendiri dan mempersiapkan hati untuk menjadi istri seorang Daniel satu tahun mendatang.
Selamat tinggal Valentino Pratama.
SELESAI

 

‘Val’phobia ( part 8 )


…Cerita Sebelumnya…
Keadaan semakin parah saja. Pertengkaranku dengan Dan sudah sampai ke telinga ibuku dan beliau memberi nasihat bijaknya kepadaku. Dan ternyata nasihat itu terbukti berhasil. Aku dan Dan bisa berbaikan kembali dan membuatku menetapkan hatiku sekali lagi…

 
Hari sudah menjelang sore saat aku dan Val berada di depan mobilnya, memperhatikan pemandangan kota di sebuah bukit di kawasan perumahan elite yang indah. Dia mengajakku ke sini untuk membicarakan sesuatu yang serius, itu katanya.
" Ini adalah tempat favoritku untuk merenung. Kalau malam sedang cerah dan kita sedikit beruntung, kita bisa menemukan ribuan bintang dan bulan yang terang benderang dari sini. " Val memulai pembicaraan, memperkenalkan tempat itu kepadaku.
" Benarkah? " Val mengangguk. " Sayang sekali sekarang masih sore, kita tidak bisa melihat bulan dan bintang yang kamu bicarakan tadi. "
Val mengangguk lagi. " Kita bisa melihatnya lain kali. " Dan aku tersenyum.
Beberapa menit kemudian kami diam cukup lama, sepertinya satu sama lain tidak yakin ingin memulai perbincangan duluan atau tidak. Sampai akhirnya Val mengalah dan berkata:
" Flor, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu. "
" Masalah apa? " Tanyaku, bingung.
" Masalah SMSku waktu itu, aku minta maaf. Aku tidak pernah bermaksud untuk membuatmu bingung. "
Benarkan apa yang aku pikirkan? Val memang menunggu waktu yang tepat untuk mengungkit masalah itu. Aku diam, lalu perlahan menggeleng dan berkata tanpa penekanan apa-apa. " Sudahlah Val, lupakan saja masalah itu. "
Val menggeleng. " Tapi aku benar-benar merasa sangat tidak enak. "
Aku menghela napas dan mencoba menjawab tanpa melibatkan emosiku sama sekali. " Itu sudah lama sekali. Jujur saja aku memang kecewa membaca SMS itu. Rasanya sangat menyakitkan. Tapi…kalau sekarang aku boleh bertanya, kenapa waktu itu kamu bisa mengirim SMS seperti itu untukku, Val? "
Sekarang aku sudah menatap mata Val. Aku ingin melihat reaksi matanya saat Val menjawab pertanyaanku yang satu ini. Kata orang, mata tidak bisa berbohong, aku ingin membuktikannya sekarang. Mata itu kelihatan kaget, ragu-ragu selama beberapa saat lalu berubah menjadi penuh penyesalan saat Val akhirnya bisa menjawab dengan lemah.
" Aku juga tidak yakin kenapa aku bisa mengatakan hal seperti itu kepadamu. Aku tahu, aku salah. Tidak seharusnya aku bersikap sangat kasar kepadamu. Bagaimanapun, kedekatan kita tidak bisa diabaikan hanya karena masalah sepele seperti itu. " Val mengakhiri kata-katanya dengan senyum kecut. Aku masih mencoba membaca mata Val, tapi yang aku temukan di sana malah akhirnya membuatku merinding. Di sana aku menemukan kesungguhan hati. Buru-buru aku memalingkan wajahku.
" Tapi Flor, kalau aku masih boleh jujur kepadamu… aku ingin meyakinkanmu bahwa permintaanku waktu itu aku katakan dengan sungguh-sungguh. " Val melanjutkan kata-katanya yang membuatku mengerutkan dahi dengan bingung.
" Maksudmu? "
" Flor, aku masih tetap menginginkanmu dan aku… menyukaimu. "
Val pasti sudah gila. Dia baru saja menyatakan cintanya kepadaku! Apa dia salah orang dan menganggapku wanita lain? Kali ini aku langsung menatap matanya, mencoba untuk menemukan kebenaran disana tapi malah menemukan pancaran mata yang penuh keseriusan.
" Boleh aku bertanya dulu? " Aku bertanya sambil berjuang menguasai hatiku sendiri. Val mengangguk dan aku melanjutkan perkataanku. " Bagaimana hubunganmu dengan pacarmu itu? "
" Pacarku? Siapa? Stella? " Val malah kembali bertanya dengan sedikit kaget. Itu malah membuatku menyadari sesuatu, ternyata wanita itu bernama Stella. Wanita yang waktu itu pernah aku lihat fotonya dari Val, yang diakui Val sebagai pacarnya dua tahun yang lalu. Kali ini aku yang mengangguk.
" Aku sudah tidak berhubungan lagi dengan Stella, kami sudah lama putus. Karena itulah sekarang aku berani memintamu untuk menjadi pacarku, Flor. Awalnya aku memang tidak terlalu tertarik denganmu, aku menganggapmu anak kecil, menganggapmu bukan apa-apa. Tapi aku salah. Tidak bertemu dua tahun denganmu malah membuatku tersadar bahwa aku tidak bisa melupakanmu. Kamu memang tidak istimewa, kamu biasa saja, tapi justru karena itu aku malah semakin sering memikirkanmu. "
Kini Val menatapku dengan pandangan tajam yang menusuk, dan pikiranku langsung jadi kacau. Val menarik tanganku yang rasanya tidak bertenaga lalu melanjutkan perkataannya sambil tetap menggenggam tanganku.
" Sekarang aku berani mengatakan ini kepadamu: Flor, aku cinta kepadamu, aku mau kau jadi milikku. Aku tidak bermaksud mempermainkanmu lagi, aku benar-benar mencintaimu dari lubuk hatiku yang paling dalam. "
Aku semakin lemas. Ya ampun… Val mengatakan kalau dia mencintaiku! Apa yang terjadi? Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Val menyatakan perasaannya kepadaku pada saat yang tidak tepat, dua minggu sebelum aku bertunangan dengan Daniel!
… Bertunangan… Aku lupa kalau aku harus memberikan undangan pertunanganku kepada Val. Aku akan bertunangan dengan Daniel, aku akan menjadi istrinya, aku sempat melupakan kenyataan itu. Gawatnya, mataku mulai panas dan air mataku nyaris jatuh, aku akan menangis. Aku tidak boleh menangis.
" Val, aku akan bertunangan dengan Daniel dua minggu lagi. "
Wajah Val langsung berubah pucat. Dia meraih tanganku dan meremasnya sekuat tenaga. Aku kesakitan, jantungku juga seperti diiris-iris, dan aku merasakan kekecewaannya.
" Kamu tidak bisa bertunangan dengan orang lain! Aku tahu kamu menyukaiku, kamu selalu menyukaiku, kan? Hanya saja aku terlalu bodoh karena tidak membalas perasaanmu itu! Kamu hanya mencintaiku, bukan orang lain! "
Air mataku sudah tak tertahankan lagi dan kini mengalir dengan derasnya. Tiba-tiba semua kenangan tentang Val kembali lagi ke dalam otakku. Aku ingat betapa dulu aku sangat menginginkan Val menjadi kekasihku, selalu berangan-angan dekat dengannya. Tapi dulu, dia tidak bisa mewujudkan semua keinginanku itu, dan sekarang saat aku tidak lagi memimpikan semua itu, Val malah menawarkan semuanya dan membuatku bingung.
" Kenapa? " Aku mulai berbicara lagi. " Kalau kamu memang tahu aku mencintaimu, kenapa kamu malah membuatku sakit hati? Kamu membuatku kecewa, menjadikanku pelarianmu dan tidak menghargaiku! Aku sangat membencimu! Hanya karena aku tidak mau berselingkuh denganmu, kamu malah memutuskan hubungan persahabatan kita! Aku benar-benar membencimu! "
Air mataku semakin deras. Rasanya tidak ada lagi yang bisa aku tahan, semua perasaan yang aku pendam selama ini sudah keluar. Aku melepas genggaman tangannya dengan kasar lalu berusaha sekuat tenaga untuk memukul dadanya yang bidang. Aku berharap dia kesakitan. Aku mau dia merasakan sakit yang selama ini aku rasakan.
" Aku tahu kamu sangat membenciku, aku sudah membuatmu sakit hati. Tapi aku menyayangimu, aku ingin kamu jadi milikku, bukan milik orang lain, Flor! "
" Aku… aku juga sangat menyayangimu! " Akhirnya kata-kata itu terlontar juga, aku sendiri setengah tidak sadar saat mengatakannya. Val menatapku dengan senang, matanya berbinar-binar dan dia baru saja akan memelukku. Tapi aku mengelak, mundur satu langkah dan menatapnya dengan pandangan penuh air mata.
" Tapi kenapa kamu datang sekarang? Kenapa kamu datang saat aku sudah memutuskan untuk melupakanmu? Kenapa kamu datang dua minggu sebelum aku akan bertunangan? Kenapa?!?! "
Aku membentaknya sekeras mungkin, memuntahkan semua pikiran yang selama ini aku tutup-tutupi tanpa perduli Val akan bersikap bagaimana. Tapi Val malah menarikku dan memelukku erat-erat. Dia membiarkanku menangis disana, memukulnya sekuat tenaga, mendengar detak jatungnya yang cepat dan mencium aroma tubuhnya yang wangi. Sesaat semuanya terasa lengkap. Apa yang sudah membuatku penasaran selama ini dan yang membuatku sakit hati, terjawab sudah. Orang yang selama ini diam-diam sudah aku kagumi, bertekuk lutut dihadapanku. Apa lagi yang aku inginkan? Bukankah aku sudah mati-matian berusaha menjadi wanita yang cantik untuk tujuan ini, jadi apa lagi yang aku mau?
Val merenggangkan pelukannya lalu menatapku yang sudah berhenti menangis, membuat wajahku dan wajah Val hanya berjarak beberapa senti. Kami saling bertatapan cukup lama dalam diam, dan entah bagaimana, sedetik kemudian aku dan Val sudah berciuman. Itu sebuah ciuman yang hangat dari Val, dari seorang laki-laki yang selama ini aku inginkan, dan jujur saja aku sangat menikmatinya. Beberapa menit setelah terhanyut cukup lama, bibir Val mulai merenggang. Dia akan melanjutkan ciumannya ketika tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Itu adalah suara teleponku, sebuah MMS masuk dari Daniel. Aku menjauh dari Val dan membacanya. Isi pesan bergambar itu tidak terlalu panjang, hanya ada sebuah foto aku dan Daniel yang kami ambil beberapa waktu yang lalu dari ponsel Daniel. Di foto itu kami berpelukan dengan mesra, raut wajah kami sama-sama terlihat senang dan penuh dengan cinta. Di bawah foto itu terdapat sebuah kalimat:
Flor, aku sangat merindukan senyum manismu ini…L
Saat itu, tiba-tiba aku mengingat kembali semua kenanganku bersama Daniel. Bayangan saat dia menyatakan perasaannya kepadaku empat tahun yang lalu, bayangan saat dia menciumku pertama kali, bayangan saat kami melewati waktu bersama, saat kami bertengkar, saat kami saling jujur, saat kami jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya. Semuanya tampak sangat indah, menyentuh hati dan sangat berharga. Kemudian kejadian berikutnya berjalan dengan saat cepat. Tiba-tiba aku memahami apa yang harus aku lakukan, kesalahan apa yang telah aku lakukan dan apa keputusan yang akan aku ambil. Lalu aku mengembalikan ponselku ke dalam tas dan memandang Val yang masih berdiri di hadapanku dengan pandangan bingung.
" Aku minta maaf, Val. " Hanya itu kata-kata yang bisa aku katakan kepada Val.
" Maksud kamu apa, Flor? " Val malah terlihat bingung.
Aku menggelengkan kepalaku dengan mantap. " Terima kasih karena telah bersedia meluruskan kesalahpahaman yang pernah terjadi antara kita berdua, tapi… aku tidak bisa, Val. "
" Tapi Flor… "
Aku mengulurkan telapak tanganku tepat ke depan wajah Val untuk menghentikan perkataannya. " Val, sudah cukup. Aku tidak bisa mengkhianati cinta tulus yang telah aku terima dari Daniel. Maaf… aku… memilih Daniel. "
Lalu aku menyerahkan undangan pertunanganku, sambil mengatakan kalau dia harus datang bersama pasangannya. Saat itu Val kelihatan sangat kaget menerima undangan itu, bahkan sempat tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia memandangi mataku nyaris tanpa berkedip, seolah mencari jawaban yang bisa diterimanya dari sana. Tapi aku pasti memasang raut wajah yang penuh keyakinan karena pada akhirnya dia berjanji akan datang dengan suara pelan dan pasrah. Dan tak lama setelah itu kami beranjak pulang tanpa berkata apa-apa lagi.

 
… Bersambung …

‘Val’phobia ( part 7 )


…Cerita Sebelumnya…
Pertemuan kembali dengan Val mulai mempengaruhi hubunganku dengan Dan. Tanpa disadari aku semakin menunggu-nunggu kedatangannya. Padahal aku tidak bermaksud untuk melupakan Dan, bagaimana pun aku dan Dan akan menikah nantinya, tapi…

 
Malamnya saat makan malam yang aku lewatkan bersama ibu dan adik bungsuku yang masih duduk di bangku SMA bernama Fani, tiba-tiba saja ibuku bertanya dengan nada serius sambil tetap menyantap makan malamnya.
" Flor, apa kamu dan Daniel bertengkar? " Ibuku bertanya setelah meneguk minumannya.
" Kakak dan Kak Daniel bertengkar? " Fani kaget mendengar pertanyaan ibuku, sedangkan aku hampir saja tersedak ayam yang sedang aku kunyah karena juga merasa kaget sehingga aku buru-buru meraih gelas minumanku dan meneguk air dengan cepat.
" Bertengkar? Kenapa ibu bertanya seperti itu? " Tanyaku setelah selesai minum.
" Tante Ima yang menanyakannya kepada ibu. Calon mertuamu itu khawatir melihat calon suamimu itu uring-uringan terus beberapa hari belakangan ini. Tante Ima takut, jangan-jangan kalian berdua bertengkar. " Ibuku menjawab dengan sabar.
Aku menjadi semakin bingung. " Bagaimana kami bisa bertengkar kalau kami bahkan tidak boleh bertemu? " Aku menjawab lagi.
" Baguslah kalau kalian tidak bertengkar, ibu lega mendengarnya. "
" Mungkin Daniel sedang banyak masalah di tempat kerjanya. " Aku menjawab lagi, mencoba menebak-nebak.
" Wah… hati-hati, loh kak. Katanya orang yang ingin menikah itu sering di mendapatkan cobaan berat, sampai-sampai mereka terancam tidak jadi menikah. " Fani berkata lagi sambil memandangiku dengan raut wajah jahil dan sok tahunya yang menyebalkan.
" Heh! Anak kecil, jangan ikut campur! " Aku menjawab dengan sewot.
" Eh, ini benar, loh! Kakak teman sekelasku mengalaminya. Padahal dia dan calon suaminya akan menikah sebulan lagi, tapi calon suaminya bertemu dengan mantan pacarnya dan berselingkuh! " Fani masih saja menjawab dengan bersemangat, sedangkan aku mulai kesal mendengarnya.
" Sudahlah Fani, jangan menakut-nakuti kakakmu. " Ibu mencoba melerai pertengkaran mulut kami. Tapi aku semakin sewot mendengarnya.
" Menakut-nakuti? Aku tidak merasa takut, kok. " Jawabku, ketus.
" Lagipula aku tidak menakut-nakuti, itu kenyataan! " Fani malah melanjutkan dengan semakin menggebu-gebu, bertekad menyelesaikan kisahnya sebelum ibuku menyuruhnya untuk berhenti. " Akhirnya kakak teman sekelasku itu secara tidak sengaja memergoki calon suaminya sedang berselingkuh sehingga pernikahan mereka batal. "
" Sudah Fani. Lebih baik kamu bantu ibu mencuci piring-piring ini. " Ibuku mengakhiri kisah yang diceritakan Fani tepat pada waktunya, tepat saat aku merasakan bulu kudukku merinding mendengar akhir yang tragis itu. Untungnya Fani tidak bisa membantah perintah ibuku dan pergi ke belakang dengan membawa piring-piring untuk di cuci, sehingga dia tidak perlu melihat raut wajah ketakutanku.
" Sudah Flor, jangan dengarkan perkataan Fani tadi. Mungkin Daniel memang sedang punya masalah di kantor. Menjelang pernikahan memang selalu saja ada masalah yang harus dihadapi para calonnya. " Ibu mencoba menenangkanku.
" Tapi aku dan Daniel kan baru akan bertunangan. " Jawabku, nyaris otomatis.
" Ibu tahu. " Ibuku menjawab masih dengan sabar. " Yang ingin ibu coba katakan adalah semua pasangan pasti pernah bertengkar, mengalami masa-masa sulit dan mengancam hubungan mereka. Tapi itu semua adalah hal yang wajar. Kalian kan sudah cukup lama menjalin hubungan, ibu yakin kalian sudah mengalami masa pertengkaran seperti itu. "
Aku mengangguk, dan ibuku tersenyum. Tentu saja kami pernah bertengkar. Sebagai pasangan normal kami juga pernah mengalami perbedaan pendapat dan keadaan dimana kami berdua tidak bisa saling mengalah. Tapi selama ini kami bisa mengatasinya dengan baik. Paling tidak, seberapa pun beratnya masalah yang sedang kami hadapi, kami berdua berhasil melewatinya dengan kepala dingin dan tidak pernah tercetus sedikitpun keinginan untuk berpisah. Aku bangga dengan kenyataan ini. Semua itu menandakan bahwa Daniel sangat menyayangiku dan tidak akan rela melepaskanku untuk orang lain atau bahkan tidak pernah berpikir untuk berpisah denganku hanya karena masalah sepele seperti siapa yang tidak bisa mengalah dan siapa yang bisa.
" Asalkan kalian saling percaya, saling mencintai dengan tulus dan mengesampingkan ego kalian masing-masing, ibu yakin semua masalah akan bisa kalian hadapi dengan baik. " Lanjut ibuku lagi.
" Tapi aku dan Daniel memang tidak bertengkar, bu. " Aku masih menjawab dengan bandel.
" Ibu percaya dengan kalian. Yang penting kalian tidak bertengkar, itu saja sudah cukup membuat ibu dan Tante Ima tenang. Bagaimanapun juga kalian berdua sebentar lagi akan bertunangan dan menikah, tidak baik kalau kalian bertengkar. "
Aku mengangguk.
" Sudah, lebih baik kamu telepon Daniel, dia pasti sangat kangen denganmu. Walaupun kalian sedang di pingit, tapi bukan berarti kalian tidak boleh berbincang di telepon, kok. " Sekarang raut wajah ibuku yang penuh khawatir tadi telah hilang, berganti dengan senyum hangat yang biasanya selalu membuatku merasa nyaman dan tenang. Diam-diam aku lega melihatnya. Bagaimana pun aku tidak ingin membuat ibuku stress hanya gara-gara memikirkan aku.
" Kalau begitu, aku telepon Daniel dulu, ya. " Aku pamit dan beranjak ke kamarku.
Setelah sampai di kamar, sesuai dengan permintaan ibuku, aku langsung menghubungi Daniel. Dia mengangkat teleponku pada deringan ke tiga dengan nada suara senang yang tidak bisa disembunyikan.
" Hallo? " Daniel menjawab dengan singkat.
" Hallo, Dan. Apa aku mengganggumu? "
" Tentu saja tidak, sejak kapan telepon darimu menggangguku? Justru aku sangat senang mendengar suaramu. Aku benar-benar kangen. Lama-lama pingitan ini membuatku kesal juga. " Jelas sekali terdengar kalau Daniel memang sedang menunggu telepon dariku.
Selama acara pingitan ini aku memang tidak pernah menelepon Daniel lebih dulu, bukan hanya gara-gara aku sedang sibuk mengurusi acara pertunanganku, juga bukan karena aku sedang sibuk dengan Val, tapi juga karena diam-diam aku setuju dengan acara pingitan ini. Tidak bertemu dengan Daniel sebelum hari pertunanganku akan membuat pertemuan kami nantinya menjadi moment yang sangat dinantikan. Lagi pula, aku senang membuat Daniel sangat merindukanku seperti saat ini.
Mau tidak mau aku tertawa mendengar Daniel yang begitu kesal dengan permintaan pingit yang diajukan kedua orang tua kami. " Aku juga kangen denganmu, tapi kamu tidak boleh uring-uringan seperti itu terus. Tante Ima khawatir denganmu, dia mengira kita sedang bertengkar. "
" Bertengkar? Bertengkar karena apa? " Daniel terdengar biasa saja. Maksudku, memang terakhir kali kami berbicara lewat telepon aku membentaknya dan membuatnya kesal sehingga sewaktu ibuku bertanya tadi aku kira Daniel memang sedang marah denganku karena masalah itu. Tapi mendengar sikapnya yang tidak berubah membuat semua pikiran negatifku itu hilang. Daniel jelas sama sekali tidak marah dan ini membuatku kembali santai.
" Aku juga tidak mengerti. Mungkin karena sikap uring-uringanmu itu. Ibuku juga sama khawatirnya. Ibuku bahkan menceramahiku dan mengatakan kalau kita harus saling mempercayai dan mengesampingkan ego kita masing-masing. Pokoknya ceramah-ceramah semacam itu. Dan semua itu malah membuatku bingung. Mereka pikir kamu marah denganku " Aku berusaha menjelaskan.
Sekarang Daniel tergelak mendengar penjelasanku. " Benarkah mereka berkata seperti itu? Tidak mungkin aku bisa marah dengan calon istriku tersayang? Aku tidak pernah bisa marah denganmu. "
" Jangan berlebihan. " Jawabku, tidak percaya.
" Aku tidak berlebihan. "
" Bagaimana kalau aku benar-benar berbohong? " Tanyaku lagi.
" Kalau kamu mengakuinya dan mengatakan alasannya dengan jujur, aku tidak akan bisa marah, sayang. "
" Kalau aku marah tanpa alasan? " Aku masih bertanya dengan bandel.
" Aku tidak akan marah. " Jawab Daniel dengan mantab.
" Kalau aku menyinggung perasaanmu? "
" Tidak akan marah. "
" Kalau aku ternyata berselingkuh? "
Daniel diam sebentar sedangkan jantungku tanpa sadar berdebar sangat kencang menunggu jawaban Daniel kali ini. Diam-diam aku mengingat sosok Val di kepalaku, mengingat SMS dan telepon antara aku dan Val beberapa hari belakangan dan mengingat kembali bagaimana dengan kesalnya aku saat meminta Daniel tidak meneleponku karena aku menunggu telepon dari Val.
" Itu akan sangat menyakitkan. Tapi… aku tetap tidak bisa marah denganmu. "
" Kenapa? " Tanyaku, masih saja tidak puas.
Daniel menjawab lagi dengan mantap. " Kenapa? Karena aku mencintaimu, Flor. Mencintaimu dari lubuk hatiku yang paling dalam. Mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku. Mencintaimu lebih dari pada yang kamu perkirakan. "
Aku merasakan tanganku yang mendadak gemetar saat memegang handphoneku dan tiba-tiba dadaku rasanya tergelitik, seperti ada sebuah kupu-kupu sedang mengepakkan sayapnya dengan riang gembira di perutku. Kata-kata Daniel itu sangat menyentuh hatiku, sangat tidak aku duga dan membuatku semakin merasa bersalah. Jelas alasan ini adalah alasan paling tepat yang mampu membuatku membisu dan tidak bisa berdebat lagi. Tapi kata-kata itu sekaligus menyadarkanku bahwa ada sesuatu yang telah salah aku lakukan.
Selang beberapa menit kemudian perbincangan kami selesai. Aku duduk di samping tempat tidurku dan merenung.
… Bertunangan dan menikah …
Itu dia. Mendengar kata-kata itu membuat aku terdiam. Seperti ada sesuatu yang membuatku teringat akan sesuatu yang sebelumnya sempat aku lupakan. Benar, aku dan Daniel akan bertunangan dan tahun depan kami akan menikah. Aku melupakan kenyataan itu selama beberapa hari belakangan ini. Mungkin karena aku dan Daniel tidak bertemu selama beberapa waktu, dan aku disibukkan dengan kedatangan Val. Atau mungkin secara tidak sengaja aku membiarkan diriku sendiri melupakan kenyataan ini. Selalu saja seperti itu. Setiap kali bersama dengan Val, rasanya aku bisa melupakan semua hal. Rasanya tidak ada hal lain yang menguasai pikiranku selain Val.
Aku juga belum memberitahukan rencana pertunanganku kepada Val. Pertunangan, pernikahan yang akan berlangsung satu tahun kemudian... ya ampun, kenapa saat ini semua rencana itu terdengar sangat tidak benar? Padahal aku sendiri yang telah memutuskan untuk menerima lamaran Daniel tanpa bujukan atau paksaan dari siapa pun, lalu mengapa sekarang aku merasa keberatan? Lagipula, kenapa aku tidak bisa memberitahu Val tentang pertunanganku? Aku kan sudah tidak punya perasaan apa-apa terhadap Val, dan dia juga pasti tidak menganggapku sebagai siapa-siapa. Dia hanya menganggapku sebagai seorang teman lama yang baru saja bertemu lagi dengannya setelah dua tahun tidak bertemu. Jadi kenapa aku tidak bisa mengundangnya dan malah jadi ragu?
Lagi pula, tidak ingatkah aku kepada peristiwa menyakitkan yang membuatku sangat sakit hati dan sedih saat Val memutuskan hubungan pertemanan kami hanya karena aku tidak mau menerima permintaannya untuk berselingkuh?
Yakinkah aku kalau Val sudah berubah? Memang kami sudah tidak bertemu selama beberapa waktu, tapi apakah itu bisa menjamin kalau Val tidak akan mengulangi kejadian yang sama seperti waktu itu? Kalau dulu Val bisa menghinaku, bukankah sekarang dia juga bisa melakukannya lagi? Lagi pula, aku bahkan tidak tahu apakah Val sudah tidak berhubungan dengan wanita cantik di foto itu. Jadi, bagaimana bisa aku membiarkan diriku terjerumus lagi ke dalam genggaman Val? Kenapa aku bisa membiarkan diriku percaya dengan perkataan Val lagi? Dengan kata-kata manisnya, dengan rayuan gombalnya yang bahkan belum bisa aku yakini kebenarannya?
Bukankah sudah ada Daniel di sampingku, orang yang selama ini telah membuktikan cinta dan kesetiaannya. Aku sudah berhubungan dengan Daniel selama lebih dari empat tahun, dan selama itu Daniel tidak pernah menyakiti perasaanku. Dia bahkan tidak pernah membentak atau bahkan memarahi semua kesalahanku. Dengan kesabarannya dan perasaan cintanya yang besar, Daniel selalu mendampingiku dalam suka dan duka. Daniel bahkan telah membuktikan keseriusannya dengan memintaku menjadi istrinya, memintaku langsung kepada kedua orang tuaku.
Jadi, bagaimana bisa aku melupakan semua itu?
Aku bodoh, aku tahu. Mungkin aku memang sempat lupa diri selama beberapa hari belakangan ini, dan semua itu hampir saja membuatku melakukan sebuah kesalahan besar yang pastinya akan aku sesali suatu saat nanti. Tidak, aku tidak ingin menghancurkan masa depanku sendiri. Tidak, dengan kenyataan bahwa masa depan yang indah itu sudah ada di depan mataku saat ini.

 
… Bersambung …