"MENIKAHLAH DENGANKU"

Saat itu kami baru saja merayakan hari jadi kami yang ke tiga tahun. Aku dan Dion, seperti biasa, sedang menghabiskan hari minggu malas kami di rumah. Aku asik membaca buku Harry Potterku entah untuk yang keberapa kalinya, sedangkan Dion sedang asik dengan playstation pocketnya. Di ruang tengah salah satu murid mama sedang berlatih memainkan lagu Mozart, salah satu lagu klasik favoritku. Mendengar nada pertama lagu ini dimainkan, aku langsung meletakkan bukuku dan berjalan menuju piano portable yang berada di pojok ruangan. Dengan volume rendah, aku ikut memainkan lagu yang sama sambil memejamkan mata.

Aku memainkan lagu itu tiga kali berturut-turut, tanpa jeda. Saat aku akhirnya menghentikan permainan pianoku, suara piano yang dimainkan murid mama masih memainkan lagu yang sama dengan terpatah-patah, sedangkan Dion sudah berhenti bermain playstation dan sedang memandangiku.

"Apa?" Tanyaku kepada Dion dengan bingung.

Dion hanya mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menggelengkan kepala dengan pelan.

"Apa aku melakukan kesalahan?" Tanyaku lagi, masih penasaran karena belum menemukan jawaban dari raut wajah Dion yang aneh.

Dion menggelengkan kepala lagi. Kali ini dia tidak lagi seperti sedang melamun.

"Permainanmu sempurna, Jazz." Dion akhirnya menjawab sambil tersenyum yang malah membuatku menghembuskan napas lega.

"Baguslah kalau begitu." Tanggapku secara otomatis.

Dion sudah mendengarku bermain piano nyaris seumur hidupnya jika mengingat bahwa kami adalah sahabat sejak kecil. Dia akan langsung menyadari jika aku melakukan kesalahan walau sekecil apa pun. Dan aku akan merasa sangat malu jika memang melakukan kesalahan karena aku sudah belajar piano bersama mama bahkan sebelum aku lahir.

"Justru itu masalahnya." Tanggap Dion dengan cepat yang membuatku mengerutkan kening.

"Maksudmu?"

"Kamu selalu sempurna untukku, Jazz."

Dan lidahku kelu. Aku tahu Dion sedang merayuku. Dan sebagai pacar, sudah sewajarnya jika Dion sesekali merayuku. Hanya saja setiap kali Dion merayuku ada sesuatu dalam dirinya yang membuat rayuannya selalu berhasil membekukan lidahku dan menyemukan kedua pipiku. Mungkin pilihan kata-katanya yang selalu ajaib. Atau mungkin raut wajahnya yang selalu terlihat penuh kesungguhan setiap kali merayuku. Oh, atau mungkin karena pandangan matanya yang nyaris tidak berkedip setiap menatapku. Seolah aku adalah hal paling indah yang pernah dia lihat.

Jadi apalagi yang bisa aku lakukan selain menundukkan kepala dan menahan senyumku sendiri?

Tapi lalu Dion berkata lagi. Kali ini kata-katanya bukan saja berhasil membuat lidahku membeku tapi juga seluruh tubuhku.

"Menikahlah denganku, Jazz."

Aku langsung mengalihkan pandanganku kepada Dion. Menatap kedua matanya langsung tanpa berkedip dan berusaha menemukan hal yang lucu di sana. Tapi, lagi-lagi, kedua mata itu menatapku dengan pandangan yang sama: serius, tanpa ragu, dengan keyakinan penuh.

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahku masih tidak bisa bergerak. Sehingga Dion yang lebih dulu bertanya.

"Jazz? Kamu tidak mau?"

Aku mengerjapkan kedua mataku dan mengatup mulutku dengan rapat. Lalu aku mencoba menelan ludahku dengan susah payah.

Apakah Dion sudah gila? Bagaimana mungkin aku menolak ajakan seperti itu? Tapi kami masih begitu muda. Walaupun kami sudah saling mengenal sejak masih kecil, tapi tetap saja.... Memutuskan untuk berumah tangga tidak bisa hanya dinilai dari seberapa lama kita sudah mengenal pasangan kita. Benar, kan?

"Tapi, Di... kita masih kuliah."

"Dan aku sudah memutuskan untuk mengambil beasiswa ke Australia itu." Dion menanggapi seolah aku menjawab tanpa nada ragu sama sekali. Jawaban ini membuatku kaget.

"Kamu menerimanya?"

Dion mengangguk. "Karena itulah aku mau kita menikah lebih dulu. Aku tidak bisa pergi dengan resiko akan kehilanganmu."

Aku menelan ludahku dengan susah payah lagi.

"Kamu serius, Di?"

"Apakah aku pernah bercanda mengenai hal seperti ini?"

Benar juga. Dion bukanlah tipe laki-laki yang akan dengan mudahnya mengatakan hal seperti ini kepada orang lain. Apalagi kepada seorang wanita.

"Jadi, menikahlah denganku, Jazz Anastasia."

Apalagi yang bisa aku katakan selain 'iya'? Apalagi reaksi yang bisa aku berikan selain anggukan kepala? Dan, ya, saat itu aku merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia.