Stacatto ( Part 1 )


STACATTO
Aku baru saja memasuki ruangan itu beberapa langkah saja tapi suaranya sudah terdengar dengan sangat jelas. Itu adalah suara piano, jernih dan menghanyutkan, seseorang sedang memainkan nada-nada staccato dengan tempo cukup cepat, tapi penuh dengan ekspresi. Aku tersenyum, suara piano memang selalu membuatku senang, lalu masuk lebih dalam. Mungkin Sina, salah satu sahabatku, yang sedang bermain di dalam_bukan dia. Jadi aku buru-buru masuk untuk menyapanya dan berniat ikut bermain satu-dua lagu. Tapi semangatku tiba-tiba menghilang saat melihat siapa yang sebenarnya sedang bermain piano. Ternyata dia, London.
Aku langsung berhenti berjalan. Dengan sangat pelan dan bertekad untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun, aku membalikkan badan dan bersiap untuk pergi. Tapi sialnya, tas besar yang aku bawa di punggungku menyentuh meja dan membuatnya bergeser dengan suara keras. Aku sangat kaget, begitu juga dengan London. Dia menghentikan permainan pianonya dengan mandadak, membalikkan badan dan memandangku dengan sedikit terkejut. " Sidney? "
Mendengar nada suaranya saja aku bisa menebak kalau London terkejut melihatku di sini. " London. Hai. " Jawabku sambil berputar untuk menatap London dengan enggan.
" Kamu datang lebih awal. "
" Aku ingin bertemu dengan Sina, tapi sepertinya dia belum datang. Lebih baik aku menunggu di luar saja. Sampai jumpa. " Aku tidak bisa menahan sikap serba salahku, bagaimanapun dia adalah orang terakhir yang ingin aku temui sekarang. Tanpa menunggu reaksi lain dari London, aku melambaikan tanganku seadanya dan berbalik untuk pergi lagi, tapi sayangnya London menghentikan aku dengan menarik tas berat yang aku sandangkan di punggung.
" Tunggu dulu, Sid. Ada yang harus kita bicarakan. "
" Mengenai apa? " Tanyaku, pura-pura tidak tahu sambil berbalik menghadap London.
" Kemarin kau bertanya sesuatu yang belum sempat aku jawab dan sekarang aku ingin menjawabnya. " Jawab London dengan tegas.
Ya ampun… sebenarnya aku benar-benar tidak ingin membicarakan masalah ini lagi, apa lagi mengingatnya. Tapi saat ini aku tidak bisa menolak. Pelan-pelan aku meletakkan tas punggung ke samping kakiku dan mendesah panjang dan berat, lalu mengingat kembali kejadian kemarin sore.

 
Kemarin sore, saat Staccato Orchestra baru saja selesai berlatih dan satu per satu anggotanya pulang meninggalkan aku dan London berdua saja, London mendatangiku. Kami tergabung di Orkestra yang sama, aku bermain biola dan London sebagai Conductor.
" Sidney, bisa kita bicara sebentar? " London berkata lebih dulu.
" Ada apa? " Tanyaku, masih sibuk dengan kertas-kertas partiturku.
" Aku ingin berbicara tentang kita, tentang hubungan kita. "
Mendengar jawaban London yang tidak biasa itu membuatku langsung meletakkan tumpukan kertas partiturku dan memandanginya dengan bingung. London kelihatannya sedikit gelagapan mendapat perhatian penuhku itu, matanya lagi-lagi memperlihatkan perasaannya dengan sangat jelas. Tapi itu tidak menyurutkan niatnya untuk melanjutkan perkataannya. " Aku rasa ada sesuatu yang masih mengganjal antara kita berdua, sesuatu yang belum selesai dan aku sangat ingin menyelesaikannya sekarang. "
Uh-oh. Aku tahu ini tentang apa, dan aku langsung menyesal kenapa aku menyetujui ajakan London untuk berbincang-bincang tadi. Aku sedang tidak ingin membicarakan hal itu kepada London. Aku mau dan akan membicarakan masalah ini jika aku sudah benar-benar siap, tapi bukan sekarang. Tapi sepertinya aku tidak punya banyak pilihan sehingga akhirnya aku menghela napas, pasrah.
" Baiklah. Aku mendengarkan. "
" Kita memang sudah pernah membicarakan masalah ini sebelumnya, tapi tidak menemukan penyelesaiannya, sedangkan aku tidak bisa mempertahankan keadaan ini lebih lama lagi. Jadi aku ingin bertanya sekali lagi kepadamu: Sidney, apakah kamu peduli kepadaku? Lebih dari pada perasaan pedulimu terhadap temanmu yang lain? "
" London, aku sudah berkali-kali mengatakannya kepadamu. Tentu saja aku peduli denganmu, sangat peduli. "
" Untuk alasan apa? " Tanya London dengan pandangan curiga.
Aku mendecak kesal dan memutar mata. " Apakah peduli butuh alasan? "
" Ya. Aku ingin tahu. " Aku memutuskan untuk tidak menjawab. " Maafkan aku, Sid. Tapi aku tidak mau terus menebak-nebak. Kita berdua tahu bahwa kita saling memperhatikan, kita saling peduli. Tapi aku butuh alasan, satu saja alasan yang bisa meyakinkanku bahwa perhatianku tidaklah sia-sia. Aku butuh kepastian, Sid. Aku tidak bisa terus berada di situasi seperti ini, aku tidak mau dan aku tidak sanggup hanya terus menggantungkan harapan dan mimpi-mimpiku tentang hubungan kita. Katakan saja sejujurnya, apakah aku masih memiliki harapan untuk bisa memilikimu? Jawab saja iya atau tidak. "
Aku diam tidak bergerak, tidak yakin harus menjawab apa. Aku memang menyukai London. Dia sangat menarik perhatianku. Dia dewasa_memang jauh lebih dewasa kalau mengingat umurnya yang tujuh tahun lebih tua dariku. Dia juga menyukai music, jago bermain piano, tampan dan memang adalah tipe laki-laki idamanku. London bahkan adalah calon suami terbaik bagi gadis manapun. Kalau saja dia tidak terlalu pemilih untuk mencari pasangan, pasti saat ini dia akan memiliki begitu banyak pacar, karena ada begitu banyak wanita yang mendekati dan secara terang-terangan menawarkan diri mereka. Tapi bahkan dengan pertimbangan sebanyak itu, aku masih tidak yakin harus menjawab apa.
" Dengar, Sid. Aku tahu bagaimana perasaan dan kebimbanganmu. Tapi kamu tidak bisa selamanya membenamkan perasaanmu di kubangan kesedihan itu terus menerus. " Aku masih tidak menjawab dan diam-diam kembali memutar ulang rekaman memori yang satu itu.
… Bersambung …