Ini adalah film Indonesia kedua
yang (mau) saya tonton dalam beberapa tahun belakangan ini setelah The Raid. Saya
tidak bermaksud menjelek-jelekan film buatan dalam negeri sendiri, tapi jika
saya diminta untuk memilih antara film horror ecek-ecek dan film anak muda
galau, tanpa saya inginkan, memilih film buatan negeri sendiri menjadi sebuah
perbuatan yang tabu. Untunglah beberapa waktu belakangan ini kualitas film
buatan anak negeri semakin membaik dari waktu ke waktu.
Salah satu film buatan anak negeri
yang keluar di awal tahun 2014 ini berjudul Comic 8 yang disutradarai oleh
Anggy Umbara yang sebelumnya telah menyutradarai Mama Cake di tahun 2012 dan
Coboy Junior The Movie pada 2013. Comic 8 merupakan sebuah action comedy movie
yang menceritakan mengenai perampokan sebuah bank di Jakarta oleh delapan orang
perampok pada waktu yang bersamaan. Kedelapan orang perampok yang dengan
nekadnya berani merampok bank pada siang hari bolong itu terdiri dari tiga
kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Babe Chabita, Fico Fachriza dan Bintang
Timur, yang merampok bank karena ingin menjadi orang kaya. Kelompok kedua
terdiri dari Ernest Prakasa, Kemal Palevi dan Arie Kriting yang merampok bank
hanya karena iseng. Sedangkan kelompok ketiga terdiri dari dua orang saja,
yaitu Mongol dan Mudy Taylor yang ingin membantu anak-anak yatim piatu dengan
cara merampok para perampok bank. Mereka bertemu di tempat dan waktu yang sama
secara tidak sengaja sehingga memutuskan (dengan bantuan Om Indro Warkop) untuk
bekerja sama. Walaupun sering kali berselisih pendapat dan saling menodongkan
senjata, akhirnya mereka mampu bekerja sama untuk menguras seluruh uang dan isi
brangkas bank tersebut sekaligus meminta berbagai permintaan aneh kepada kepala
polisi cantik yang memimpin operasi penangkapan mereka: Nirina Zubir yang
dibantu oleh asistennya yang sok bule: Boy William.
Sebelumnya, saya harus selalu
mengingatkan diri untuk tidak membandingkan film buatan anak negeri kita ini
dengan film buatan Hollywood. Bagaimanapun, standartnya sangat jauh berbeda dan
saya harus bisa menilai secara adil dan objectif.
Sebenarnya tema cerita film ini
cukup sederhana, tapi belum banyak dipilih oleh sineas dalam negeri kita, jadi
bisa disebut unik. Bumbu komedi khas stand-up yang ditampilkan pun cukup segar
dan menghibur. Adegan aksi yang penuh ledakan dan aksi tembak menembaknya pun
sangat menarik, dengan special efek yang cukup mulus dan sinematografi yang
enak dipandang, walaupun tone warnanya didominasi warna kekuningan dan gelap. Acting
para aktornya juga tidak kaku. Mungkin ini karena karakter tokohnya disesuaikan
dengan karakter para comic itu sendiri sehingga mereka seolah tidak perlu
bersusah payah beracting. Bahkan nama para pemerannya pun (terutama kedelapan
tokoh utamanya) menggunakan nama asli mereka yang sudah dikenal banyak orang
dan begitu melekat dengan karakter mereka.
Memang, film ini sengaja
disajikan dalam beberapa bagian, di mana setiap bagian menceritakan asal usul
mereka dan berbagai permasalahan yang harus mereka hadapi sehingga alurnya
terkesan meloncat-loncat dan dapat membingungkan. Belum lagi ada cukup banyak
adegan penuh kemustahilan dan beberapa adegan yang didramatisir sehingga
terkesan terlalu memaksa. Tapi semua itu dapat ‘dimaafkan’ dengan joke segar
dan tingkah konyol para tokohnya. Belum lagi ada begitu banyak artis-artis yang
cukup terkenal ikut andil di film ini, seperti Pandji Pragiwaksono, Nikita
Mirzani, Candil, Jeremy Teti, Kiki Fatmala hingga Coboy Junior dan masih banyak
artis-artis lainnya. Ditambah dengan ending film yang begitu diluar dugaan dan
pamor stand-up comedy yang sedang sangat naik daun di kalangan anak muda, tidak
heran jika film ini berhasil menarik tiga ratus ribu penonton lebih pada hari
ketiga penayangannya.
Film ini cukup menarik untuk saya,
karena itu saya akan memberikan tiga setengah dari lima bintang untuk Comic 8. Semoga
saja di masa yang akan datang perfilman di Indonesia akan semakin berkualitas
dan semakin beragam sehingga penonton tidak lagi harus memandang film dalam
negeri mereka dengan sebelah mata.