Dengan berkembangnya teknologi
dan berbagai informasi yang dapat diakses dengan mudah bahkan hanya dengan ujung
jari, mau tidak mau, suka tidak suka, percaya tidak percaya, semua ini
mempengaruhi cara pandang masyarakat. Dengan berubahnya cara pandang ini, maka
berbagai bidang kehidupan pun ikut menerima dampaknya. Tidak terkecuali dengan
dunia tulis menulis dan dunia perfilman. Benar, kedua dunia ini memang saling
berhubungan. Karena tidak akan tercipta sebuah film yang bagus tanpa ada karya
tulis yang bagus juga untuk menunjangnya. Dan apa dampak nyata yang terasa di
dunia perfilman sehubungan dengan berkembangnya cara pandang masyarakat
tersebut?
.jpg)
Nah, perkembangan ini pula yang
sepertinya disadari dengan baik oleh para creator film atau buku, terutama yang
tinggal di Negara yang lebih modern, sebut saja di dunia Hollywood dan Negara-negara
Barat sana. Ini terbukti dengan banyaknya karya tulis dan berbagai film
remake/reboot atau pun film baru bertema fantasy yang berbeda dari pada
sebelumnya.
Masih belum percaya? Coba telaah
film superhero remake Teenage Mutant Ninja Turtle yang terbaru, atau juga film
science fiction seperti Rise Of The Planet Of The Apes dan sekuelnya: Dawn Of
The Planet Of The Apes, juga film action seperti The Expandables dan bahkan
film animasi seperti Frozen yang dibuat oleh studio animasi ter’fairy tale’
yang pernah saya temui: Disney. Kalau kita bisa menyadarinya dengan lebih baik,
bahkan tujuh seri buku Harry Potter karya J.K. Rowling yang terkenal itu pun
merupakan karya fantasy modern yang berbeda dengan karya fantasy sebelumnya.

Kombinasi formula-formula ini
akan dapat menjamin sebuah karya lebih bisa diterima sehingga tidak akan ada perasaan
‘bolong’ yang tertinggal di benak para audiens ‘modern’. Saya sendiri pernah
berulang kali merasakan sensasi ‘bolong’ saat selesai membaca atau menonton
karya yang terlalu fantasy dan itu adalah ‘rasa’ yang tidak mengenakkan. Jujur saja,
deh. Jika dulu kita akan dengan senang hati membaca atau menonton kisah dongeng
dari dunia antah berantah yang berakhir dengan happily ever after, maka
sekarang otak kita akan dipenuhi dengan pertanyaan lain, misalnya: bagaimana
itu bisa terjadi, kenapa itu bisa terjadi, siapa yang menyebabkan semua itu
terjadi, dan masih banyak pertanyaan lain. Para audiens zaman sekarang tidak
akan puas jika disajikan cerita dengan tema good vs evil, gadis manis vs gadis
tukang bully atau anak lugu vs ibu tiri begitu saja. Bahkan sekarang pilihan
sad ending sudah bisa diterima dengan jauh lebih mudah asalkan, lagi-lagi,
didukung dengan berbagai alasan dan penyelesaian yang memenuhi pengertian
audiensnya.
Apakah ini akan mengurangi ‘rasa’
fairy tale dan fantasy itu sendiri? Well, ini memang tergantung dengan selera
masing-masing orang. Tapi menurut saya pribadi, dengan melogiskannya justru
karya tersebut akan dapat terasa lebih memuaskan untuk dinikmati.
.jpg)
Nah, bagaimana menurut pendapat
kalian sendiri? :]