QUESTIONS BOOK ( PAGE 65 )


Jika soulmate benar-benar ada
Jika tulang rusuk yang hilang benar-benar harus dicari
Jika belahan jiwa benar-benar butuh disatukan kembali
Tak kan ada keraguan
Tak perlu ku cari ke ujung dunia
Karena apa yang aku butuhkan ada disampingku
Telah direncanakan Tuhan sejak aku terlahir
Khusus untukku
Jadi yang ingin aku lakukan saat ini hanyalah berterima kasih
Karena Dia telah menurunkanmu ke dunia.

080112 ~Black Rabbit~

HANSEL AND GRETEL THE WITCH HUNTERS


Sebelum memulai, saya juga ingin mengatakan bahwa saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk menilai film ini secara objectif. Jujur saja, kali ini agak sulit untuk bisa menyingkirkan kenyataan bahwa tokoh utama film ini, Jeremy Ranner, adalah salah satu aktor terganteng yang pernah dimiliki Hollywood. Yah, paling tidak menurut saya :D. Tapi bagaimana pun, saya tetap harus menyingkirkan pandangan subjectif saya guna bisa menyusun sebuah review film yang berimbang bagi pembaca yang lain. Saya berusaha keras, percayalah. J
Anyway, pada dasarnya kisah Hansel and Gretel memiliki permulaan kisah yang sama dengan dongeng ciptaan Brother Grimm yang selama ini dikenal. Kedua kakak beradik Hansel (Jeremy Renner) dan Gretel (Gemma Arterton) 'dibuang' oleh kedua orang tuanya ke dalam hutan tanpa alasan yang jelas. Dengan ketakutan dan bingung, mereka berdua berusaha mempertahankan diri dan menemukan sebuah rumah yang terbuat dari kue. Tapi ternyata rumah tersebut adalah kediaman seorang penyihir jahat. Dia menyekap Hansel dan Gretel, memaksa mereka makan begitu banyak permen lalu menyiksa mereka melakukan perkerjaan berat hingga akhirnya memutuskan menjadikan mereka sebagai menu makan malam. Untunglah Gretel berhasil melepaskan diri dan setelah berhasil menyelamatkan sang kakak, mereka berdua pun membunuh sang penyihir jahat dengan cara memasukkannya ke dalam oven.
Tapi kisah mereka belum selesai sampai di situ.
Kejadian traumatik itu begitu membekas di hati mereka berdua hingga Hansel yang dipaksa memakan begitu banyak kue dan permen-permen manis terkena penyakit diabetes. Dan bukan hanya itu, kejadian itu membuat keduanya tumbuh menjadi pemburu para penyihir yang lihai dan tangguh. Dengan mengembangkan cara berkelahi dan mempertahankan diri, juga menggunakan senjata-senjata yang canggih, mereka membantu anak-anak kecil lain yang juga ditawan para penyihir. Pelan tapi pasti mereka mengukuhkan nama menjadi witch hunter yang handal.
Suatu saat mereka mendapat tugas di suatu desa yang warganya sangat resah karena beberapa anak kecil hilang diculik oleh para penyihir. Ternyata kasus yang mereka tangani kali ini bukan kasus biasa. Dua belas anak di desa ini, enam laki-laki dan enam perempuan yang lahir di bulan yang berbeda, diculik oleh seorang penyihir bernama Muriel (Famke Janssen). Sang penyihir jahat itu ingin memanfaatkan moment Blood Moon yang langka untuk membuat sebuah ramuan yang bisa membuat mereka kebal terhadap api bersama kedua saudarinya yang kejam.
Hansel dan Gretel yang disewa oleh walikota berusaha menghentikan si penyihir dengan bantuan seorang wanita muda bernama Mina (Pilha Vlitala) yang mereka bantu saat hampir saja dibakar oleh sherif karena dituduh sebagai penyihir dan seorang lelaki muda pengagum rahasia Gretel yang juga bercita-cita menjadi Witch Hunter bernama Ben (Thomas Mann) beserta seorang troll bernama Edward (Derek Mears). Tapi ternyata tanpa disangka-sangka penyelidikan mereka mengarah pada terkuaknya latar belakang keluarga Hansel dan Gretel, tentang siapa sebenarnya kedua orang tua mereka dan alasan apa yang membuat keduanya selama ini tidak mempan terkena sihir jahat. Bagaimana akhir perjuangan mereka?
Hansel and Gretel Witch Hunter bukanlah film untuk anak-anak. Bahkan film ini menyandang rating R dan beberapa majalah film mengumumkan bahwa film ini BUKAN diperuntukkan bagi anak-anak di bawah umur (walaupun, sayangnya, para pengelola bioskop di Indonesia masih belum mau repot-repot melakukan hal yang sama).
Dan memang benar, film ini mengandung berbagai unsur yang bisa mewakili rating R tersebut. Coba kita teliti lagi. Nudity? Check. Malah ada adegan yang harus disensor secara keseluruhan. Violence? Double check. Dengan penggunaan berbagai senjata api dan pertarungan yang kasar, jelas unsur yang satu ini begitu terasa. Sadism? Triple check. Bukan saja adegan pukul-pukulan yang keras dan kejam, tapi juga darah yang muncrat ke mana-mana dan taktik pertikaian yg terkesan penuh mutilasi memang terlalu mengerikan untuk ditonton anak-anak. Tapi, terlepas dari rating tadi, keseluruhan cerita berjalan cukup menarik. Dengan berani, sang sutradara mengubah cerita legenda ini menjadi sesuatu yang segar tapi tidak meninggalkan 'akar'nya.
Memang, Hollywood sedang hobi-hobinya me-remake cerita-cerita legenda menjadi sesuatu yang lebih kompleks dan dewasa. Beberapa legenda sudah di-remake, seperti Red Riding Hood, Cinderlela dan bahkan Snow White, tapi tidak satu pun dari film tersebut yang dianggap berhasil di pasaran.
Tapi menurut saya Hansel and Gretel adalah film re-make yang berbeda dari film-film tersebut. Walaupun masih mengusung genre yang lebih dark, tapi keputusan untuk tidak mengubah garis besar ceritanya adalah keputusan yang tepat. Untuk menyiasatinya, sang penulis naskah malah memberikan twist-twist baru yang lebih masuk akal dan menarik yang masih terkait. Paling tidak latar belakang para tokohnya cukup tergali dan setiap pertanyaan mendapatkan jawaban seiring cerita ini berjalan sehingga tidak ada pertanyaan yang tersisa dibenak penonton setelah credit title rolling di layar.
Selain itu alurnya cepat, dan kisahnya cukup terfokus pada kedua tokoh utama sehingga tidak banyak detail pemeran pembantu yang terlalu mengganggu. Walaupun cukup banyak adegan kebetulan, tapi shocking scenenya masih mampu memberi tempo yang tidak membosankan. Setting lokasinya cukup menarik, efek-efeknya juga menyenangkan, walaupun bagi beberapa yang tidak terlalu suka adegan penuh darah, saya tidak menyarankan untuk menonton versi 3D nya. Yang saya suka adalah keputusan sang sutradara mengambil setting 'steam punk' kuno yang menggunakan senjata-senjata berat tapi dengan setting klasik. Paling tidak hal ini memberi variasi bagi penonton agar tidak membosankan untuk ditonton.
Jika kalian ingin mencari film action fantasi yang penuh darah, maka film yang saya beri tiga dari lima bintang ini cocok untuk kalian. Tapi, saya sangat menyarankan untuk tidak mengajak anak kecil, loh yah. Tapi kalau kamu termasuk orang yang tidak tahan menyaksikan film yang penuh perkelahian dan darah, jangan nonton film ini. Kalau pun kalian 'terpaksa' menonton film ini, lebih baik jangan terlalu banyak membawa makanan atau minuman, deh. Saya sih menyarankan untuk menikmati kegantengan Jeremy Ranner-nya saja seperti yang saya lakukan juga di tengah-tengah kegiatan menonton saya itu.... (^_^)

250113 ~ Black Rabbit

GANGSTER SQUAD


Los Angeles tahun 1940-an dikuasai oleh seorang mafia bernama Mickey Cohen (Sean Penn). Cohen membangun kerajaan mafianya dengan menjual obat-obatan terlarang, memiliki begitu banyak tempat perjudian dan menculik sejumlah wanita-wanita muda untuk bisnis prostitusinya. Tidak ada satu orang pun yang berani mengganggu daerah kekuasaannya. Bukan saja karena Cohen yang merupakan mantan petinju ini terkenal cukup kejam, tapi juga dia dilindungi oleh para polisi beserta petinggi-petingginya yang sudah ‘dibeli’ dengan sejumlah uang dan wanita-wanita muda.
Tapi ada satu orang yang berani ‘mengganggu’ berbagai aktifitas illegal Cohen dan gengnya itu. Dia bahkan menghancurkan sebuah kasino milik Cohen tanpa bantuan siapa pun. Pria nekat itu bernama Sersan John O’Mara (Josh Brolin), seorang veteran perang dunia kedua yang idealis, jujur dan pantang menyerah. Selama bertugas sebagai tentara, O’Mara telah menerima begitu banyak penghargaan untuk aksi heroiknya. Dan kini setelah menjadi salah satu anggota Los Angeles Police Department atau LAPD, naluri kepahlawanannya tidak bisa dibendung untuk melawan kekuasaan Cohen yang lalim.
Mendengar salah seorang anak buahnya mau menghentikan tindakan illegal Cohen dengan berani, tidak takut mati dan tidak mempan disogok, sang kepala polisi Bill Parker (Nick Nolte) meminta O’Mara untuk membentuk sebuah tim kecil yang berani memerangi geng Cohen tanpa mengatas namakan pihak kepolisian. Tindakan ini sebenarnya cukup beresiko karena kelompok yang akan dibentuknya ini harus melakukan aksi mereka sendiri dan tidak akan mendapatkan pengakuan dari pihak LAPD jika gagal. Tapi lagi-lagi sifat heroic O’Mara membuatnya menyetujui tawaran ini. Dengan bantuan sang istri yang sedang hamil tua, O’Mara merekrut Coleman Harris (Anthony Mackie), Conway Keeler (Giovanni Ribisi), Navidad Ramirez (Micheal Peña), Max Kennard (Robert Patrick) dan Jerry Wooters (Ryan Gosling) dan menamakan diri mereka dengan sebutan Gangster Squad.
Mereka memulai penyelidikan mengenai Cohen dan sebagai permulaan, mereka menyerang sebuah casino milik Cohen tanpa persiapan matang yang membuat O’Mara dan Navidad tertangkap. Sejak saat itu taktik O’Mara yang cenderung nekad diredam oleh Jerry yang berpikiran lebih ‘logis’ dan dibantu Conwell yang mengusulkan untuk memasang alat penyadap di rumah Cohen. Sementara itu diam-diam Jerry yang flamboyan dan playboy menjalin hubungan dengan Grace Faraday (Emma Stone), kekasih sekaligus guru etiket pribadi Mickey Cohen.
Seiring dengan taktik penyerangan yang makin matang, usaha mereka untuk menghancurkan mata rantai bisnis illegal Cohen yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Chicago ini mulai membuahkan hasil. Hingga Cohen pun naik pitam dan mulai menuntut balas yang membahayakan bukan saja para anggota Gangster Squad itu sendiri, tapi juga anggota keluarga mereka.
Walaupun tokoh Cohen merupakan tokoh nyata dan tokoh lain adalah fiktif, tapi film ini  disajikan dengan apik dan cukup ringan oleh sang sutradara Ruben Fleischer (Zombieland, 30 Minutes Or Less). Berbeda dengan film-film bertema serupa seperti The Godfather dan Public Enemy, para penonton mungkin akan mengira bahwa Gangster Squad adalah versi komedi dari kedua film besar tersebut. Bagaimana tidak? Walaupun diawali dengan adegan-adegan yang cukup sadis dan serius, pada pertengahan film disuguhkan juga adegan yang mengundang tawa.
Alurnya pun berjalan cepat, tidak bertele-tele dan tepat sasaran. Memang beberapa karakter tokoh diperankan oleh para actor yang cukup ternama, tapi kualitas acting mereka cukup menghibur jika tidak mau disebut di bawah standart. Yang paling memukau tentu saja acting Sean Penn yang berhasil memerankan tokoh Mickey Cohen yang sudah cukup tua tapi tetap kejam dan penuh kuasa.
Film ini sempat diundur penayangannya karena tragedy penembakan di bioskop Aurora tahun 2012 lalu pada penayangan perdana The Dark Knight Rises karena dalam film ini juga terdapat adegan penembakan di depan bioskop. Tapi dengan pengunduran ini, saya rasa memberi dampak yang cukup positif karena di Indonesia sendiri film ini tayang bersama dengan film-film yang ‘tidak terlalu box office’.
Terlepas dari beberapa scene yang mengundang tawa itu, saya pikir hal ini mendukung kenyataan bahwa Gangster Squad merupakan cikal bakal terbentuknya tim-tim special unit lain seperti FBI dan SWAT. Paling tidak, minimnya pengalaman dan penggunaan alat penyadap dalam film ini menggambarkan ketidakamatiran mereka yang sesuai dengan zamannya.
Saya memberikan tiga dari lima bintang untuk film ini karena ceritanya begitu ringan, mudah diikuti dan cukup menghibur tanpa menghilangkan unsur kekejaman dan politik kotor yang terjadi antara para mafia dan pihak pemerintah terkait. Jadi, walaupun masih tidak cocok untuk ditonton anak di bawah umur, Gangster Squad cocok ditonton untuk kalian yang ingin menghabiskan waktu luang dengan sebuah film action yang cukup sadis tapi tetap ringan ditonton.
210113 ~Black Rabbit~

THE IMPOSSIBLE

Hampir Sembilan tahun yang lalu, tepatnya 26 Desember 2004, dunia diguncang oleh sebuah bencana alam maha dahsyat yang melululantahkan sebagian Asia. Selain Aceh, negara-negara lain pun tidak luput dari amukkan tsunami tersebut, termasuk India, Srilangka, Filipina dan Thailand. Tragedy inilah yang menginspirasi seorang sutradara berkebangsaan Spanyol bernama Juan Antonio Bayona untuk membuat sebuah disaster drama film.
Ceritanya sendiri berasal dari kisah nyata keluarga Belón berkebangsaan Spanyol yang merupakan salah satu keluarga yang selamat dari bencana mengerikan itu. Tapi, entah untuk kepentingan apa, nama keluarga Belón diubah menjadi Bennett dan mereka diceritakan berasal dari Inggris dengan logatnya yang begitu kental.
Diceritakan suami istri Bennett memutuskan untuk mengajak ketiga putra mereka ke Thailand untuk mengalami malam natal yang berbeda dari biasanya. Mereka berangkat dengan begitu antusias, dan awalnya semua berjalan dengan lancar dan penuh kebahagiaan. Suasana hotel yang baru dibangun itu pun tak kalah menyenangkan, membuat semua orang ingin melakukan kegiatan di luar kamar. Tapi tanpa peringatan sama sekali ombak setinggi sepuluh meter menghantam dan menghancurkan semuanya.
Tidak ada yang menyangka akan mengalami bencana hebat seperti itu sehingga hampir seluruh tamu hotel yang sedang menikmati liburan mereka terseret ombak. Keluarga Bennett pun tercerai berai. Sang istri, Maria (Naomi Watts) hanya bisa menemukan putra sulungnya, Lucas  (Tom Holland), terapung-apung terbawa arus yang sangat deras. Sementara itu sang suami, Hendry (Ewan McGregor) berhasil menyelamatkan kedua anaknya yang lain: Thomas (Samuel Joslin) dan Simon (Oaklee Pendergast).
Setelah berhasil menyelamatkan diri, Lucas berusaha bertahan sebelum regu penyelamat datang sambil membantu sang ibu yang terluka cukup parah. Keadaan sekitarnya begitu hancur lebur, hanya menyisakan genangan lumpur dan reruntuhan. Untungnya penduduk setempat menemukan dan menyelamatkan mereka. Maria langsung dilarikan ke rumah sakit yang ternyata telah diisi begitu banyak para korban lain yang memenuhi setiap sudut rumah sakit dengan luka-luka yang sangat mengenaskan.
Sementara itu, sang suami dan kedua anaknya berhasil berlindung di atas hotel tempat mereka menginap. Tapi situasi masih belum aman. Ancaman tsunami susulan masih menghantui sementara Henry harus mencari istri dan anak sulungnya. Dengan berat hati, Hendry menitipkan kedua anaknya kepada seorang wanita agar bisa mengungsi ke tempat yang aman. Tapi keputusan sulit ini malah membuat mereka terpisah.
Dengan penuh kesedihan, shock, sakit di sekujur tubuh dan putus asa, keluarga Bennett berusaha sekuat tenaga untuk dapat bertahan hidup dan menemukan anggota keluarga yang lain sehingga mereka bisa bersatu kembali.
Walaupun film ini bukan diproduksi oleh salah satu rumah produksi besar di Hollywood, tapi kualitasnya begitu di luar dugaan. Sejak awal cerita, penonton diajak untuk mengalami perjuangan keluarga Bennett yang penuh air mata dan rasa sakit. Alur ceritanya cepat, tanpa terlalu banyak tambahan informasi yang tidak diperlukan. Para tokohnya pun masing-masing memiliki karakteristik yang kuat dan dimainkan oleh actor dan aktris dengan kualitas acting yang jempolan. Bahkan sang pemeran utama wanita, Naomi Watts, dinominasikan sebagai aktris terbaik di berbagai penghargaan bergengsi. Sang anak, Lucas yang diperankan oleh Tom Holland pun tidak luput dari acungan jempol para penonton dan kritikus sehingga dinominasikan sebagai artis pendatang baru yang paling menjanjikan.
Film yang diputar pertama kali pada ajang Toronto Internasional Film Ferstival 2012 ini pun disebut-sebut sebagai “the most emotionally realistic disaster movies in recent memory—and certainly one of the most frightening in its epic re-creation of the catastrophic 2004 Indian Ocean Tsunami” oleh salah seorang Hollywood Reporter (benar, saya menuliskan opini ini tanpa saya terjemahkan karena saya rasa kata-kata ini lebih ampuh efeknya jika dibaca apa adanya).
Yang tak kalah mengundang decak kagum adalah setting lokasi yang diciptakan. Sang sutradara dan para special efek benar-benar telah bekerja keras dengan sangat baik untuk bisa menciptakan suasana yang sempurna, mereka ulang kejadian luar biasa tersebut sehingga kelihatan seolah benar-benar nyata tanpa perlu menggunakan efek 3D. Sang sutradara juga menyiasati dengan cara pengambilan gambar yang berbeda sehingga para penonton bukan hanya dapat menyaksikan tapi juga seolah-olah merasakan tragedy itu secara langsung. Belum lagi tata rias yang digunakan terlihat begitu nyata. Berbagai luka sayat atau luka parah dan bahkan bola mata yang memerah benar-benar kelihatan nyata.
Film ini mampu mengajak para penonton untuk merasa sedih, takut, haru dan ngeri pada saat yang bersamaan. Detailnya pun begitu diperhatikan sehingga saya yang biasanya sangat kritis mengenai hal yang satu ini tidak bisa menemukan celah kritik.
Ending film ini memang biasa saja dan terkesan ‘seperti sinetron’ dengan scene berpapasan yang membuat gemas. Tapi kesan ‘seperti sinetron’ itu dipatahkan dengan eksekusi yang bagus, yang membuat geregetnya terjaga tapi tetap masuk akal dan tidak berlebihan, sesuatu yang sejauh ini tidak bisa dilakukan sebagian besar sineas dalam negeri.
Dan bukan hanya itu. Film ini juga memberi pelajaran kepada penonton bahwa pasti akan ada ‘terang sehabis gelap’. Film ini juga menyinggung tentang kemanusiaan, seberapa jauh seseorang dapat peduli dan mau membantu sesama manusia walaupun tidak saling mengenal. Dan film ini mengajarkan kita untuk tidak mudah menyerah.
Sebenarnya saya bukanlah tipe orang yang suka menonton film yang mengundang air mata, tapi film yang satu ini adalah pengecualian. Selain memang berkualitas, film ini sayang untuk dilewatkan. Saya dengan senang hati memberikan empat dari lima bintang.
150113 ~Black Rabbit~

MOVIE’S BENEFIT FOR A WRITER


Setujukah kalian bahwa sebagian besar penulis pasti suka menonton film? Saya punya cukup banyak teman di jejaring social yang sering kali berbagi cerita bahwa mereka selalu berusaha meluangkan waktu untuk menonton film di bioskop secara teratur, menyukai film tertentu atau baru saja menonton film yang sangat disukainya untuk kesekian kali. Dan sebagian besar penulis tersebut berpendapat bahwa kegemaran mereka menonton film sangat berguna untuk mengembangkan kemampuan menulis mereka. Benarkah begitu?
Bagi sebagian penonton lain yang tidak berprofesi atau pun memiliki kegemaran menulis, menonton film bisa berarti sebuah rekreasi. Dengan menonton film, mereka membebaskan pikiran untuk berimajinasi bagaimana jika kisah dalam film tersebut terjadi pada mereka. Penonton bisa berandai-andai menjadi seorang polisi, superhero atau bahkan pembunuh tanpa benar-benar membahayakan diri mereka sendiri. Ada juga penonton yang menyukai film tertentu karena memiliki ketertarikan terhadap actor/aktris yang bermain di dalamnya. Para penggemar, terutama penggemar fanatic, akan dengan suka rela menonton film apa pun yang diperankan oleh actor/aktris favorit mereka, tidak peduli apakah film tersebut memang berkualitas atau tidak. Dan ada juga penonton yang suka menonton film hanya untuk sekedar mengisi waktu luang.
Tapi bagi seorang penulis, menonton film bisa menjadi salah satu cara untuk mengasah kemampuan menulis mereka. Saya sendiri adalah seorang penulis amatir yang masih berusaha belajar terus menerus agar teknik menulis saya bisa menjadi lebih baik lagi. Dan salah satu cara belajar paling menyenangkan yang saya lakukan adalah dengan menonton film.
Sama seperti buku, sebuah film juga memiliki tema, alur, tokoh, setting, klimaks dan ending yang ingin diceritakan kepada orang lain. Bedanya, film adalah sebuah buku yang diceritakan secara visual seolah ‘menghidupkan’ imajinasi yang tertuang dalam setiap lembarnya. Sedangkan buku membebaskan para pembaca untuk berimajinasi seluas mungkin, tanpa batas. Karena itu, tidak heran jika para pembaca buku sering kali merasa kecewa dengan film yang dibuat berdasarkan buku tertentu. Kemungkinan besar imajinasi mereka tidak sama dengan apa yang coba diterjemahkan sang sutradara sehingga membuat mereka kecewa dan secara tidak langsung mengekang imajinasi mereka.
Tapi, sekali lagi, sebagai seorang penulis saya bisa belajar banyak dari sebuah film. Saya bisa belajar mengenai tema yang dipilih sang sutradara, alur yang dilalui, tokoh yang dibentuk, setting yang digunakan dan lainnya. Lagi pula, menonton banyak film berkualitas dengan tema yang beragam akan memperkaya imajinasi dan ‘membuka’ mata imajinasi kita menjadi lebih lebar dari pada sebelumnya. Asiknya, semakin lama, saya akan semakin mahir memilih mana film yang memiliki alur yang menarik, tokoh mana yang memiliki karakter paling kuat dan bahkan saya dapat menilai actor/aktris mana yang memiliki kekuatan acting yang bagus. Bukan hanya itu, saya pun semakin pintar untuk menilai film mana yang memiliki kualitas baik dan mana yang buruk.
Memang ‘membedah’ sebuah film tidak jauh berbeda dengan ‘membedah’ buku. Tapi ada satu hal paling bermanfaat yang saya dapatkan dari kegemaran saya menonton film, yaitu saya dapat belajar ‘membaca’ apa yang coba dituangkan sang sutradara secara visual. Saya percaya, jika kita dapat ‘membaca’ dengan baik sisi visual tersebut dan dapat pula menjabarkan kembali visualisasi tersebut secara lisan maupun tulisan, maka besar kemungkinan kita adalah seorang (calon) penulis yang baik. Karena bagaimana pun pada dasarnya seorang penulis adalah orang yang pandai menuliskan segala hal yang dilihat dan dirasakannya lalu mengemasnya dengan menarik sehingga enak dibaca.
Jadi bagi saya pribadi, penting bagi seorang penulis untuk gemar menonton film dan mengerti mengenai film yang ditontonnya. Bagaimana caranya?
Coba saja diskusikan film yang sudah kamu tonton dengan orang lain yang juga sudah menontonnya atau buat review sederhana mengenai film tersebut. Beri penilaian dari berbagai sisi, termasuk bagaimana sang sutradara bercerita, alurnya, penokohannya, temanya, endingnya, pokoknya semua detail film tersebut. Temukan sisi positif dan negatifnya, cari keunggulan dan kelebihannya dan juga beri penilaian secara objektif agar pendapat kita tidak terkesan berat sebelah. Jangan hanya asik melihat actor/aktris yang ganteng dan cantik saja, yah. Jika bisa memberikan penilaian melalui kaca mata penulis bahkan lebih baik lagi. Dengan begitu acara menonton film yang tadinya hanya acara malam minggu biasa bisa berubah menjadi acara yang menyenangkan sekaligus berguna, kan?
Coba saja. (^_^)

050113 ~Black Rabbit~