QUESTIONS BOOK ( page 63 )


Aku ingin kau berubah pikiran
Aku ingin kau berbalik
Dan mengatakan bahwa kau menyerah
Bahwa kau tidak sanggup
Rasa itu terlalu menyiksa
Sesak itu sungguh menyakitkan
Kau tak mampu lagi melawannya
Aku ingin kau mengakui
Bahwa kau butuh aku
Bahwa selama ini kau salah memutuskan
Aku ingin kau mengatakan
Bahwa kau tidak siap
Tenang, sayang
Aku akan ada di sini
Menerima keadaanmu apa adanya
Selalu menunggumu dengan setia
Walau kau coba mengesampingkanku
Menganggapku tidak ada
Atau bahkan tak menyadari keberadaanku
Aku di sini.

060612 ~Black Rabbit~

THE HOBBIT: AN UNEXPECTED JOURNEY


Saya adalah pecinta karya J.R.R. Tolkien yang satu ini. Saya sudah membaca novel ini sejak SMA, kira-kira lebih dari dua belas tahun yang lalu dan sampai sekarang saya sangat mengidolakan sang penulis dan novel ini. Bahkan saya lebih menyukai kisah Bilbo Baggins jika dibandingkan dengan kisah Frodo Baggins di trilogy Lord Of The Ring (LOTR). Karena itulah sewaktu saya mendapat kabar bahwa The Hobbit akan difilmkan ke layar lebar, saya sangat senang dan langsung tidak sabar menunggu film ini diputar di bioskop-bioskop Indonesia.
Tentu, karena LOTR sudah sangat terkenal di seluruh dunia dan mendapatkan begitu banyak penghargaan pula, kisah The Hobbit yang merupakan prekuel trilogy ini sudah pasti sangat ditunggu-tunggu oleh para penggemarnya. Tidak heran jika Peter Jackson yang sudah menyutradarai begitu banyak film-film berkualitas, seperti King Kong, District 9, The Adventures Of Tintin dan juga termasuk ketiga film LOTR sebelumnya, berani menyutradarinya.
Film ini menceritakan mengenai kisah seorang Hobbit bernama Bilbo Baggins (Martin Freeman), paman dari Frodo Baggins, yang diundang melakukan petualangan oleh seorang penyihir bernama Gandalf (Ian Mckellen). Penyihir ini dengan sengaja memberi tanda pada pintu rumah Bilbo Baggins sehingga para Dwarves datang ke rumahnya. Ketiga belas Dwarves ini bernama Dwalin, Balin, Fili, Kili, Dori, Nori, Ori, Óin, Glóin, Bifur, Bofur, Bombur dan Thorin. Mereka dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) yang merupakan keturunan langsung dari raja Erebor, berencana melakukan perjalanan untuk merebut kembali harta benda mereka dari seekor naga bernama Smaug yang telah merebut semua itu dan memaksa mereka pergi dari tanah kelahiran mereka sendiri. Tapi untuk melakukan perjalanan itu mereka harus mencari anggota keempat belas, yang bisa membantu mereka masuk ke dalam Lonely Mountain secara diam-diam. Maka dipilihlah Bilbo Baggins, walaupun dengan cara yang tidak cukup menyenangkan untuk sang Hobbit.
Akhirnya petualangan mereka pun dimulai, yang ternyata tidak berjalan dengan cukup mulus. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan para Troll yang hampir saja berhasil menjadikan mereka menu makan malam. Lalu mereka juga harus menghadapi pasukan Orc yang dipimpin oleh seorang Orc bernama Azog yang menunggangi Warg berwarna putih. Orc tersebut berniat untuk membalaskan dendamnya kepada Thorin yang telah memenggal tangan kirinya. Belum lagi mereka terjebak di gua bawah tanah para Goblin yang juga ingin menjadikan mereka santapan yang lezat. Sepanjang perjalanan itu mereka semua diuji niat, keberanian dan kekuatan masing-masing. Termasuk Bilbo Baggins yang belum pernah pergi meninggalkan liangnya sama sekali. Tapi Bilbo sama sekali tidak menyadari bahwa petualangannya kali ini bukan saja mengubah masa depannya, tapi juga mengubah masa depan keluarganya.
Seperti yang saya bicarakan sebelumnya, kisah The Hobbit adalah salah satu kisah adaptasi novel yang paling saya tunggu-tunggu untuk muncul di bioskop. Karena itu besar harapan saya bahwa film ini akan menjadi sebuah karya yang tidak kalah fenomenalnya jika dibandingkan dengan LOTR. Tapi jujur saja, saat saya mendapat kabar bahwa film ini akan dibagi menjadi tiga seri, saya langsung merasa sedikit kaget dan khawatir. Pasalnya novel The Hobbit sendiri tidaklah terlalu tebal (hanya 348 halaman saja untuk versi bahasa Indonesia nya) dengan kisah yang padat dan alur yang mengalir cukup cepat. Saya jadi bertanya-tanya: apa yang bisa disajikan menjadi tiga bagian untuk film yang berdasarkan pada buku yang tidak terlalu tebal seperti itu? Saya rasa jika dibagi menjadi dua bagian saja, itu sudah cukup.
Ternyata kisah ini disajikan dengan begitu hati-hati. Bukan hanya latar belakang Thorin diceritakan dengan sangat detail, bahkan kisah Bilbo baggins yang sedang menulis buku The Hobbit itu sendiri diceritakan dengan cukup panjang, termasuk menghadirkan tokoh Frodo yang sebenarnya tidak muncul sama sekali di novelnya. Pertemuan para Dwarves dan Elves juga pertemuan Gandalf dan Saruman pun diceritakan dengan terlalu mendetail sehingga terkesan membosankan. Mungkin detail yang satu ini dimunculkan untuk memberikan efek berkesinambungan antara kisah The Hobbit dan LOTR. Kisah peperangan yang dihadirkan juga tidak terlalu banyak, hanya disajikan di awal cerita saja. Sedangkan sisanya adalah adegan kejar-kejaran keempat belas petualang guna melarikan diri dari musuh-musuh mereka.
Tapi dibalik semua itu, perwujudan kota-kota Middle-Earth memang sangat menawan dan memanjakan mata, apa lagi dengan format 3-D yang tersedia. Keindahan ini membuat semua penonton pasti berdecak kagum dan melupakan kebosanan mereka sejenak. Apa lagi jika melihat penampilan Gollum yang sangat menawan. Sekali lagi, Andy Serkis sangat berhasil memerankan sosok Gollum yang menyeramkan tapi juga menyedihkan dan mengundang banyak simpati penonton.
Permainan teka-teki antara Bilbo dan Gollum tentunya adalah salah satu scene yang sangat memorable, termasuk saat ketiga belas Dwarves menyanyikan lagu ‘Misty Mountain’ mereka yang sangat indah itu.
Secara keseluruhan, kisah The Hobbit: An Unexpected Journey ini cukup fenomenal dan merupakan awal petualangan yang cukup menarik untuk ditonton. Paling tidak, para penonton diberi satu lagi film seri yang patut ditunggu kehadirannya di bioskop setelah seri Harry Potter dan Twilight tamat pada tahun ini. Dan semoga saja kedua seri berikutnya pun tidak akan mengecewakan.

171212 ~ Black Rabbit ~

Berkompromi


Waktu seolah berhenti. Dan saat kau selesai mengatakannya, giliran jantungku yang berhenti berdetak.
Sial, aku pasti salah dengar.
Aku baru saja menghabiskan tenagaku beberapa hari belakangan ini, memukuli sandsack di arena latihan. Aku tidak bisa berada di atas ring, tidak ada satu orang teman pun yang mau menemaniku berlatih. Kata mereka emosiku sedang tidak stabil, itu bisa membahayakan keselamatan mereka. Yeah, benar, seolah aku sama sekali tidak menyadarinya saja. Walaupun begitu aku sungguh menikmati keringat yang mengalir deras selama berlatih, tak peduli seberapa sakitnya tanganku yang memukul sandsack tanpa sarung tangan. Tapi latihan itu pastilah telah berpengaruh pada telingaku. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku bisa salah mendengar kata-kata yang kau ucapkan, yang selama ini tidak pernah luput dari pendengaranku sedikit pun?
Tanganmu terlihat mengerikan, itu yang kau ucapkan saat akhirnya kita bisa bicara berdua saja, berhadapan, satu situasi yang tidak akan bisa kita dapatkan jika tidak kita ciptakan sendiri.
Saat itu aku hanya bisa tertawa kecut, menolak ikut meringis karena menyetujui punggung tanganku yang memerah dan berdenyut menyakitkan. Rasa sakit itu hanya mengingatkan kembali kepada alasan kenapa aku melakukannya.
Laki-laki itu memang harus banyak lukanya, itu jawabku sambil tertawa, lebih kepada diriku sendiri.
Dan setelahnya aku mendengar kata-kata itu, kata-kata yang aku kira bukan berasal dari mulutmu.
Aku dilamar.
Dan petir menyambar begitu keras di dalam tempurung kepalaku, membuatku yakin telingaku pastilah benar-benar bermasalah akibat latihan thaiboxing yang terlalu keras tanpa tujuan jelas yang selama ini aku lakukan.
Bagaimana mungkin kau bisa mengatakannya seolah itu adalah berita prakiraan cuaca untuk hari ini?
Ada senyum kecil menghiasi bibirmu setelah itu. Bukan senyum penuh kegembiraan, tapi senyum yang seolah mengatakan bahwa kau sendiri meragu apakah harus merasa senang atau sedih. Dan aku hanya bisa berdecak lemah, berharap kau tidak terlalu jelas mendengarnya sekaligus berharap kau benar-benar mendengar itu.
Aku kecewa.
Rasanya seperti dikhianati oleh seseorang yang telah aku beri kedudukan yang jauh lebih special dari pada yang aku inginkan di dalam hatiku. Aku sudah pernah merasakannya, memang begitu sakit, tapi kali ini rasa sakitnya berkali-kali lipat. Seolah sebuah pisau telah menancap di luka yang sama untuk kedua kalinya. Di luka yang aku kira telah berhasil disembuhkan oleh keberadaanmu.
Kapan? Tanyaku, tak bisa lagi mengerti untuk apa menanyakan hal itu.
Lima bulan lagi.
Ada sebuah petir lain yang menyambar di dalam tempurung kepalaku. Astaga, apakah aku harus memecahkan sendiri tempurung kepalaku ini agar efek itu berhenti mengulang?
Aku menutup kedua mataku dengan frustasi. Jantungku mulai berdetak lagi setelah sempat berhenti beberapa waktu yang lalu. Tapi kini gerakannya terlampau cepat, membuatku sesak napas. Aku tidak punya cukup waktu untuk mengobservasi jantungku dan yakin jantung itu tidak gagal melakukan fungsinya. Dia sedang berada di hadapanku, di suatu kesempatan langka di mana kami bisa berbicara berdua saja.
Tapi bagaimana aku harus menanggapinya? Sekarang lidahku yang berubah kelu.
Kamu sudah yakin?
Ini pastilah pertanyaan yang tidak pernah disangkanya akan aku tanyakan. Setelah mendengar aku yang bertanya dengan suara tersumbat yang aneh itu, dia terdiam. Sekarang lidahnya yang berubah kelu, dan diam-diam aku tertawa senang.
Sudah seharusnya dia merasa tidak yakin. Apa lagi dengan kehadiranku selama ini. Seharusnya sudah sejak lama dia menerima uluran tanganku, tawaran yang sudah aku berikan selama beberapa waktu, tak peduli sosok lain yang berdiri melindunginya di belakang. Karena—demi Tuhan, aku jauh lebih baik dari pada orang itu!
Ada begitu banyak mata yang menunggu mataku menemukan mereka. Ada begitu banyak hati ataupun tubuh yang akan diberikan dengan suka rela bagiku jika saja aku ingin memintanya. Your Mr. Right, begitu mereka menjulukiku. Dan kau pun setuju dengan julukan itu. Benar, aku mendengar kau mengucapkannya, aku tidak akan bisa melupakan moment itu.
Tapi bagaimana kau bisa tidak bertindak seperti wanita-wanita lain itu? Kenapa kau malah memilih untuk mendekat secara perlahan tapi lalu menjauh begitu aku ingin menyambutmu? Mengapa kau bertingkah seperti seekor merpati yang begitu sulit ditangkap tapi begitu ingin aku tangkap. Aku kira ada yang salah darimu, yang melepaskanku begitu saja untuk gadis lain sementara matamu berkata lain. Dan aku kira ada yang salah dalam diriku, yang begitu menginginkan milik orang lain dan menganggap orang lain itu hanyalah remah roti. Aku akan membiarkan merpati sepertimu menangkap remah roti itu karena aku tahu kau akan selalu kembali kepadaku, pemilik remah roti yang sebenarnya.
Tapi ternyata aku salah, kau dilamar orang lain.
Bagaimana mungkin kau bisa menikah dengan orang lain setelah aku begitu menginginkanmu? Aku tahu semua itu adalah takdir, yang menempatkan diriku pada posisi ini dan bertemu denganmu yang membuatku merasa berada pada waktu dan tempat yang salah.
Jika saja aku bisa bertemu denganmu lebih dulu, pada situasi di mana tidak ada dinding tebal berlabel ‘kekasih’ yang berada di sisimu, menghalangi kita berdua. Aku yakin kau tidak akan mengangguk untuk menjawab pertanyaan terakhirku tadi setelah terdiam cukup lama. Pandangan matamu mengatakan bahwa kau tidak pernah menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu dari mulutku. Tapi kau pikir tanggapan macam apa yang bisa aku berikan selain itu?
Dan apa maksud jari kelingking yang kau julurkan itu? Janji, kau tidak akan berubah, itu katamu? Bagaimana mungkin aku tidak akan berubah? Bagaimana mungkin aku akan diam saja dan membiarkan orang lain mengambil kebahagiaanku untuk kedua kalinya? Apa kau sudah gila?
Tapi senyummu penuh penyesalan dan permintaan maaf sekaligus. Aku melihat pergulatan batin yang kau alami juga dari sorot matamu itu. Dan jam tangan yang masih melingkar di lenganmu itu? Bukankah itu adalah jam tangan pemberianku yang tidak pernah menghilang dari tempat di mana aku memberikannya kepadamu beberapa waktu yang lalu? Keberadaannya yang masih belum tergantikan membuat aku yakin bahwa kau memikirkan hal yang sama denganku. Aku tidak tahu sebanyak apa, aku tidak yakin apakah pergumulan batinmu melebihi pergumulan batinku sendiri. Tapi, itu sudah cukup.
Ada sebuah sorot penderitaan yang sama pada matamu, dan aku tahu ada setitik harapan di sana. Harapan di mana akulah yang mengalungkan liontin tanda pengikat di lehermu, bukan orang lain.
Itu cukup adil.
Aku tidak tahu bagaimana akhirnya nanti, tapi aku yakin suatu saat nanti akan ada masa ketika kita tidak perlu berpura-pura lagi. Kan dan aku, kita akan saling terbuka.
Jadi, aku akan menyerah untuk saat ini, untuk mempertahankan situasi ambigu kita dan menikmati sorot mata penuh harapan dan kebimbangan yang akan terpancar setiap kali aku mengulang pertanyaan itu:
Apakah kau yakin?

060612 ~Black Rabbit~

Questions Book ( page 62 )


Lagi
Perasaan itu datang lagi
Dengan begitu kuatnya
Dengan begitu mengebu
Semua hanya dihantarkan oleh sebuah pertemuan
Seolah mata kita dapat saling berbicara
Dan tubuh saling menyambut dan memeluk
Berusaha menumpahkan segala kerinduan
Yang baru terasa setelah benar-benar bertemu
Tapi kenyataannya berbeda
Kau di sana
Aku di sini
Terpisah jarak
Dengan kedua tangan seolah terbelenggu
Dan hati yang berjuang sekuat tenaga
Untuk menepis keinginan berlari ke arahmu
Padahal apalah arti jarak itu
Jika hanya dengan satu langkah dapat terhapus
Tapi jarak itu terhalang tembok tebal
Yang tak kasat mata tapi kokoh tak tertembus
Yang menghancurkannya berarti menghancurkan aku, menghancurkan kita
Jadi ku biarkan bayangan kita melebur
Bersatu seolah raga kita benar-benar menyatu
Melepas rindu seolah mereguk kebahagiaan sejati
Biarkan mereka…
Dua bayangan melepas rindu.

060112 ~Black Rabbit~

Questions Book ( Page 61 )


Kalau saja hidup bisa begitu sederhana
Tanpa tuntutan
Tanpa rintangan
Tanpa halangan
Aku yakin akan bisa melaluinya dengan lebih baik
Tidak seperti ini
Aku harus membunuh agar bisa hidup
Aku harus menyerang agar bisa bertahan
Aku harus berdosa agar bisa menjadi malaikat
Aku tidak tahu jika hidup serumit ini
Mengapa menjadi baik tenyata mustahil
Melakukan kebaikan seolah menjadi tantangan tersendiri
Seolah menjadi malaikat hanyalah mimpi kosong anak kecil
Dan Lucifer barulah seorang penyelamat
Apa jadinya dunia ini?
Jika niat baik malah ditertawakan
Dan keegoisan di agung-agungkan
Akankah ada masa depan yang lebih baik?
Jika bernapas saja sulit
Dan menjadi diri sendiri adalah aib
Aku ingin memberontak
Tapi bahkan sebelum berteriak, mulutku telah dibungkam
Oleh sesuatu yang disebut kekuasaan
Aku ingin berteriak pada dunia
Tapi bahkan sebelum berhasil, mereka telah menutup telinga rapat-rapat
Dengan sesuatu yang disebut diskriminasi
Aku ingin berlari, menjauhi segalanya
Tapi bahkan sebelum bergerak, kakiku telah dibelenggu
Oleh sesuatu yang disebut kewajiban
Dan coba lihat
Ketika aku ingin menuntut apa yang telah menjadi hakku
Mereka kembali mematahkan segala usaha bahkan sebelum aku memulainya
Dengan sesuatu yang dengan kejamnya mereka sebut sebagai takdir
Aku ingin memaki
Persetan dengan semua itu
Masa bodoh dengan segalanya
Aku hanya terus mencoba untuk hidup
Yang aku lakukan selama ini hanyalah mencoba bertahan hidup
Dan mencoba menggali sedikit rasa dihargai
Itu saja.

281111 ~Black Rabbit~

FAJAR PERTAMA ( a postcard )


Seorang teman pernah bertanya kepadaku: apakah kau sudah merasa bahagia?
Saat itu aku hanya tertawa dan memukulkan kepalan tanganku ke arah lengannya tanpa benar-benar memberikan jawaban. Bukan karena aku menganggapnya sedang bercanda, tapi karena aku tidak menemukan jawabannya. Paling tidak, belum.
Itu adalah pertanyaan yang diajukan kepadaku beberapa waktu yang lalu. Sudah cukup lama. Dan sekarang secara tiba-tiba aku mengingatnya kembali. Aku tidak yakin apakah aku sudah menemukan jawabannya, tapi kali ini aku sedang bersama dengan seseorang yang mungkin saja bisa memberikan jawaban itu untukku.
Seseorang itu adalah kamu, yang sedang terlelap di sampingku, bernapas dengan teratur dan kelihatan begitu nyenyak. Rambutmu yang berwarna hitam panjang tergerai begitu saja, jatuh menutupi bantal yang kau gunakan dan menutupi sebagian dahimu dengan manis. Kedua matamu yang besar tertutup, menyisakan bulu mata lentik untuk kukagumi. Bibirmu yang tipis melengkungkan senyum, seolah tidur nyenyakmu telah menghadiahkan sebuah mimpi indah sehingga senyum itu merekah di bibirmu. Kulit putihmu tertutupi selimut tebal yang melindungimu dari udara dingin fajar yang baru saja terbit.
Aku memandangimu dalam diam, tidak berani bergerak agar tidak membangunkanmu. Tapi aku tidak bisa mencegah tanganku untuk menyentuhmu, mengagumimu sekaligus meyakinkan hatiku bahwa kamu adalah nyata. Aku hanya ingin menyakini diriku sendiri bahwa kamu adalah tulang rusukku yang hilang. Kamu adalah mimpi indah yang mewujud menjadi nyata bagiku. Dan pagi ini aku terbangun dari tidur nyenyakku dan menemukan kamu, bidadariku, berada di sampingku sebagai istriku.
Aku tidak tahu apakah ini yang disebut kebahagiaan sejati. Tapi melihat wajahmu yang cantik dan begitu damai saat pertama kali aku membuka mata setiap pagi adalah salah satu bukti nyata bahwa aku telah merasakan kebahagiaan itu. Kebahagiaanku telah mewujud dalam dirimu, hanya kamu. Itu saja sudah cukup bagiku.