Stacatto ( Part 2 )


Sebelumnya…
Sidney tidak berharap untuk bertemu dengan London, dia sedang menghindari cowok itu. Tapi ternyata saat datang untuk latihan bersama teman-temannya di Stacatto Orcestra, Sidney malah bertemu London dan mereka membicarakan sesuatu yang sebelumnya mati-matian Sidney tutup-tutupi…

 
Kubangan kesedihan yang dimaksud London itu bernama Paris, laki-laki yang telah berpacaran denganku selama satu setengah tahun. Walau harus aku akui bahwa dia bukanlah cinta pertamaku, tapi Paris adalah pacar pertamaku dan akan segera menjadi pacarku satu-satunya. Dia bermaksud menemui kedua orang tuaku seminggu setelah kepulangannya dari liburan bersama teman-temannya ke gunung, tapi mereka tersesat disana dan dinyatakan hilang tepat sepuluh hari setelahnya. Ya, Paris menghilang, dengan arti yang sebenarnya.
Tentu saja, kejadian itu menyisakan luka yang sangat dalam di hatiku, seperti sebuah lubang yang menganga lebar, berdarah-darah, berdenyut-denyut dan sangat menyakitkan di dadaku. Rasanya seperti dunia sekelilingku mendadak runtuh seketika dan menelanku ke dasar bumi yang paling dalam lalu membiarkanku mengendap disana, sendirian, kesakitan, menderita setengah mati. Rasanya seperti ada seseorang yang menusukkan sebuah pisau ke perutku dan merenggut organ hatiku dengan paksa, membelahnya menjadi dua dan meninggalkan satu bagian di dalam perutku supaya aku bisa merasakan dan menikmati sakitnya sementara sebagian lagi dia injak-injak di depan mataku lalu di buang. Rasanya seperti mau mati saja. Perasaanku luluh lantah, hancur lebur. Aku bahkan mengira hidupku sudah berakhir, aku tidak akan bisa lagi merasakan kebahagiaan dan aku yakin tidak akan pernah bisa jatuh cinta lagi. Hanya ada satu cinta yang aku kenal selama ini, hanya ada satu sosok yang pernah mencium bibirku, hanya ada satu orang yang pernah memelukku begitu erat, tidak akan pernah ada orang lain.
Bahkan satu setengah tahun setelah peristiwa itu aku masih melewati hari-hariku nyaris seperti seorang zombie yang tanpa harapan dan keinginan.

 
London berkata lagi, masih dengan bersemangat. " Kamu harus bisa membuka hatimu dan menerima kenyataan bahwa Paris sudah tidak ada. Kamu harus bisa melanjutkan hidupmu dan membuka hatimu untuk orang lain. Lihat aku, Sid. Aku ada di sini, di sampingmu untuk mengingatkanmu bahwa ada seseorang yang bersedia mengobati luka hatimu. "
Aku hanya bisa terdiam.
" Sid, tolong jawab aku. " London bertanya lagi, kali ini dengan lebih mendesak.
" Aku… tidak ingin melukaimu... " Jawabku akhirnya, masih sama berat seperti sebelumnya.
London menggeleng dengan frustasi. " Aku tahu semua alasanmu, kau sudah menceritakan semuanya kepadaku, ingat? " Aku mengganggukkan kepala dengan cepat.
" Dan ketahuilah bahwa kamu tidak melukai hatiku. Sama sekali tidak. Semua orang punya masa lalu, entah itu pahit ataupun manis. Tapi seseorang tidak bisa terus menyesali masa lalunya dan terperangkap disana! Kamu harus maju dan menemukan cinta baru. Aku, menawarkan sebuah cinta baru kepadamu. "
Aku tahu tentang penawarannya itu.
Saat aku memutuskan untuk bergabung dengan Staccato Orkestra, aku tidak pernah menduga kalau ternyata keputusan itu justru membawaku kepada sebentuk cinta yang baru. Aku sadar, aku membutuhkan cinta itu untuk dapat menyembuhkan penyakit men-zombieku yang sudah cukup parah ini. Tapi saat kesempatan dan sarana penyembuhan itu tersaji tepat di depan mataku, aku malah ketakutan.
" Tapi… aku terperangkap di dalam kenangan itu terlalu jauh. Semua itu meninggalkan lubang besar di dalam hatiku, lubang yang belum bisa aku sembuhkan, yang membuatku tidak utuh. Aku tidak mau membandingkanmu dengannya dan akhirnya malah akan membuatmu sakit hati. Aku masih belum sanggup melupakan… "
" Kamu tidak perlu melupakan apa-apa. " London menjawab dengan cepat, seolah ingin memotong pembicaraanku sebelum aku mengatakan hal lain. " Terlepas dari semua kesedihan yang mengakhirinya, semua itu adalah kenangan manis untukmu. Kenang saja semua itu dalam hatimu, tapi jangan membuatmu berhenti melangkah. Bagaimanapun kau harus melanjutkan hidupmu, Sid. "
Ada sesuatu di dalam kata-katanya barusan. Ada kebenaran yang selama ini mati-matian aku sangkal dan aku sembunyikan. Aku tahu London benar, tapi beranikah aku untuk melangkah? Akhirnya aku hanya bisa bertanya lemah. " Apakah… kamu mau menerima aku yang tidak utuh ini? "
Tepat saat itu, supirku datang ke ruangan untuk menjemputku. London dan aku sangat kaget dan mundur beberapa langkah, mendadak menjadi sangat kikuk. Supirku sendiri kelihatannya tidak sadar telah mengacaukan suasana. Mungkin dia merasa bersalah karena terlambat datang untuk menjemputku sehingga dia langsung menghampiriku sambil meminta maaf berulang-ulang, lalu meraih tas punggungku yang berat dan menggiringku keluar, masuk ke dalam mobil.
Dan begitulah. Aku sama sekali tidak sempat mendengar jawaban London untuk pertanyaan terakhirku itu.

 
Dan besoknya disinilah aku, di hadapan London, orang yang belum menjawab pertanyaan terakhirku. Tadinya aku kira semua itu hanyalah pembicaraan biasa, dan aku sedikit berharap London akan kembali bersikap santai dan bersahabat seperti biasanya saat bertemu lagi denganku hari ini, seperti banyak pembicaraan kami sebelumnya mengenai topic ini. Tapi ternyata kali ini keinginanku yang satu ini tidak terpenuhi.
London berada di hadapanku sekarang, kelihatan sangat siap untuk melanjutkan pembicaraan kami yang tertunda itu. " Kemarin kamu bertanya apakah aku mau menerima kamu yang 'tidak utuh' itu, kan? Ini jawabanku: Aku mau. "
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, merasa tidak percaya. Aku masih tidak yakin dengan apa yang dia tawarkan ataupun apa yang aku rasakan sendiri. Aku juga tidak yakin apakah ini adalah langkah paling tepat yang harus aku tempuh. Tapi aku tahu, jauh di lubuk hatiku yang terdalam, bahwa aku tidak akan bisa bertahan dalam keadaan ini terus menerus. Aku tahu, aku tidak bisa terus terpuruk di dalam kenangan sosok Paris. Aku harus bangkit, melupakan Paris dan menemukan sebuah cinta yang baru. Aku harus melanjutkan hidupku.
" Apa kau mau menerima aku yang masih belum bisa melupakan masa laluku ini? " Tanyaku lagi, pada akhirnya benar-benar menyerah. " Apa kau mau mengobati aku yang terluka parah ini? "
" Tentu. Aku mau melakukan apapun untuk bisa membahagiakanmu lagi, Sid. Aku menyukaimu. Aku menginginkanmu. "
London diam sesaat, tapi lalu berkata lagi sambil tidak melepaskan pandangan matanya yang tajam keepadaku. " Kamu tahu aku sangat menyukai nada-nada staccato pada music klasik? Karena itulah aku menamakan Orkestra ini dengan nama 'Stacatto', karena bagiku nada itu adalah nada yang paling indah di dalam sebuah musik. Dan bagiku saat ini, staccato itu adalah kamu. Sid, aku mohon jawab saja: iya atau tidak. "
Kali ini kilau kegembiraan jelas terlihat di mata London, dia yakin telah meluluhkan hatiku, tapi anehnya aku tidak merasa keberatan dengan kenyataan itu. Malah rasanya sedikit lega. Dan akhirnya aku pun tersenyum dan berkata.
" Iya. "
SELESAI

 

 

 

Stacatto ( Part 1 )


STACATTO
Aku baru saja memasuki ruangan itu beberapa langkah saja tapi suaranya sudah terdengar dengan sangat jelas. Itu adalah suara piano, jernih dan menghanyutkan, seseorang sedang memainkan nada-nada staccato dengan tempo cukup cepat, tapi penuh dengan ekspresi. Aku tersenyum, suara piano memang selalu membuatku senang, lalu masuk lebih dalam. Mungkin Sina, salah satu sahabatku, yang sedang bermain di dalam_bukan dia. Jadi aku buru-buru masuk untuk menyapanya dan berniat ikut bermain satu-dua lagu. Tapi semangatku tiba-tiba menghilang saat melihat siapa yang sebenarnya sedang bermain piano. Ternyata dia, London.
Aku langsung berhenti berjalan. Dengan sangat pelan dan bertekad untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun, aku membalikkan badan dan bersiap untuk pergi. Tapi sialnya, tas besar yang aku bawa di punggungku menyentuh meja dan membuatnya bergeser dengan suara keras. Aku sangat kaget, begitu juga dengan London. Dia menghentikan permainan pianonya dengan mandadak, membalikkan badan dan memandangku dengan sedikit terkejut. " Sidney? "
Mendengar nada suaranya saja aku bisa menebak kalau London terkejut melihatku di sini. " London. Hai. " Jawabku sambil berputar untuk menatap London dengan enggan.
" Kamu datang lebih awal. "
" Aku ingin bertemu dengan Sina, tapi sepertinya dia belum datang. Lebih baik aku menunggu di luar saja. Sampai jumpa. " Aku tidak bisa menahan sikap serba salahku, bagaimanapun dia adalah orang terakhir yang ingin aku temui sekarang. Tanpa menunggu reaksi lain dari London, aku melambaikan tanganku seadanya dan berbalik untuk pergi lagi, tapi sayangnya London menghentikan aku dengan menarik tas berat yang aku sandangkan di punggung.
" Tunggu dulu, Sid. Ada yang harus kita bicarakan. "
" Mengenai apa? " Tanyaku, pura-pura tidak tahu sambil berbalik menghadap London.
" Kemarin kau bertanya sesuatu yang belum sempat aku jawab dan sekarang aku ingin menjawabnya. " Jawab London dengan tegas.
Ya ampun… sebenarnya aku benar-benar tidak ingin membicarakan masalah ini lagi, apa lagi mengingatnya. Tapi saat ini aku tidak bisa menolak. Pelan-pelan aku meletakkan tas punggung ke samping kakiku dan mendesah panjang dan berat, lalu mengingat kembali kejadian kemarin sore.

 
Kemarin sore, saat Staccato Orchestra baru saja selesai berlatih dan satu per satu anggotanya pulang meninggalkan aku dan London berdua saja, London mendatangiku. Kami tergabung di Orkestra yang sama, aku bermain biola dan London sebagai Conductor.
" Sidney, bisa kita bicara sebentar? " London berkata lebih dulu.
" Ada apa? " Tanyaku, masih sibuk dengan kertas-kertas partiturku.
" Aku ingin berbicara tentang kita, tentang hubungan kita. "
Mendengar jawaban London yang tidak biasa itu membuatku langsung meletakkan tumpukan kertas partiturku dan memandanginya dengan bingung. London kelihatannya sedikit gelagapan mendapat perhatian penuhku itu, matanya lagi-lagi memperlihatkan perasaannya dengan sangat jelas. Tapi itu tidak menyurutkan niatnya untuk melanjutkan perkataannya. " Aku rasa ada sesuatu yang masih mengganjal antara kita berdua, sesuatu yang belum selesai dan aku sangat ingin menyelesaikannya sekarang. "
Uh-oh. Aku tahu ini tentang apa, dan aku langsung menyesal kenapa aku menyetujui ajakan London untuk berbincang-bincang tadi. Aku sedang tidak ingin membicarakan hal itu kepada London. Aku mau dan akan membicarakan masalah ini jika aku sudah benar-benar siap, tapi bukan sekarang. Tapi sepertinya aku tidak punya banyak pilihan sehingga akhirnya aku menghela napas, pasrah.
" Baiklah. Aku mendengarkan. "
" Kita memang sudah pernah membicarakan masalah ini sebelumnya, tapi tidak menemukan penyelesaiannya, sedangkan aku tidak bisa mempertahankan keadaan ini lebih lama lagi. Jadi aku ingin bertanya sekali lagi kepadamu: Sidney, apakah kamu peduli kepadaku? Lebih dari pada perasaan pedulimu terhadap temanmu yang lain? "
" London, aku sudah berkali-kali mengatakannya kepadamu. Tentu saja aku peduli denganmu, sangat peduli. "
" Untuk alasan apa? " Tanya London dengan pandangan curiga.
Aku mendecak kesal dan memutar mata. " Apakah peduli butuh alasan? "
" Ya. Aku ingin tahu. " Aku memutuskan untuk tidak menjawab. " Maafkan aku, Sid. Tapi aku tidak mau terus menebak-nebak. Kita berdua tahu bahwa kita saling memperhatikan, kita saling peduli. Tapi aku butuh alasan, satu saja alasan yang bisa meyakinkanku bahwa perhatianku tidaklah sia-sia. Aku butuh kepastian, Sid. Aku tidak bisa terus berada di situasi seperti ini, aku tidak mau dan aku tidak sanggup hanya terus menggantungkan harapan dan mimpi-mimpiku tentang hubungan kita. Katakan saja sejujurnya, apakah aku masih memiliki harapan untuk bisa memilikimu? Jawab saja iya atau tidak. "
Aku diam tidak bergerak, tidak yakin harus menjawab apa. Aku memang menyukai London. Dia sangat menarik perhatianku. Dia dewasa_memang jauh lebih dewasa kalau mengingat umurnya yang tujuh tahun lebih tua dariku. Dia juga menyukai music, jago bermain piano, tampan dan memang adalah tipe laki-laki idamanku. London bahkan adalah calon suami terbaik bagi gadis manapun. Kalau saja dia tidak terlalu pemilih untuk mencari pasangan, pasti saat ini dia akan memiliki begitu banyak pacar, karena ada begitu banyak wanita yang mendekati dan secara terang-terangan menawarkan diri mereka. Tapi bahkan dengan pertimbangan sebanyak itu, aku masih tidak yakin harus menjawab apa.
" Dengar, Sid. Aku tahu bagaimana perasaan dan kebimbanganmu. Tapi kamu tidak bisa selamanya membenamkan perasaanmu di kubangan kesedihan itu terus menerus. " Aku masih tidak menjawab dan diam-diam kembali memutar ulang rekaman memori yang satu itu.
… Bersambung …

Questions Book ( Page 46 )


Hidupku adalah perjuangan
Setiap tarikan napasku mengorbankan begitu banyak hal
Jika aku ingin bahagia
Maka aku harus mengorbankan sesuatu lebih dulu
Tampaknya itulah takdirku
Tak bisa aku hindari
Percuma saja berlari
Lantas bagaimana?
Haruskah aku tetap terus melangkah?
Sanggupkah aku mengorbankan begitu banyak hal?
Hanya demi setitik kebahagiaan?
Rodaku sedang berputar ke bawah
Aku terpuruk
Aku terinjak-injak
Aku nelangsa
Aku tidak kuat
Aku lelah
Aku takut
Aku ingin berteriak
Aku ingin kabur

 

281010 ~ Black Rabbit ~